BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di Indonesia masalah pelanggaran hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan cukup banyak terjadi. Pasalnya, berdasarkan
catatan akhir tahun 2012 lalu Wahid institute, yaitu sebuah LSM khusus
perlindungan dan penegakan HAM mencatat sepanjang tahun 2012 lalu terdapat 274
kasus pelanggaran kebebasan beragama. Koordinator program wahid institute
Rumadi Ahmad mengatakan bahwa pelanggaran terbanyak terjadi pada bulan mei 2012
lalu, sebanyak 30 kasus. Bentuk pelanggaran yang dilaporkan kepada wahid
institute yaitu pembiaran atau kelalaian dari aparat dalam melindungi tempat peribadahan
33 kasus, pelarangan rumah ibadah 26 kasus, pelarangan aktivitas keagamaan 18
kasus, kriminalisasi keyakinan 17 kasus, pemaksaan keyakinan 12 kasus, dan
intimidasi 4 kasus.
Sementara tahun 2012 lalu, Jawa
Barat merupakan provinsi yang paling banyak melakukan kasus pelanggaran yaitu
sebanyak 43 kasus, disusul dengan Aceh 22 kasus, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebanyak 15 kasus. Lebih jauh koordinator program wahid institute
menyebutkan bahwa korban terbanyak dari pelanggaran kebebasan beragama yaitu
umat kristen dan katolik sebanyak 37 kasus, kelompok terduga sesat 25 kasus,
individu 13 kasus, Jamaah Ahmadiyah indonesia 13 kasus dan pengikut syiah 12
kasus. Tak hanya itu, Ahmadiyah dan Syiah juga menjadi kelompok yang terus
mengalami pelanggaran kebebasan beragama. Khususnya jamaah Syiah di Sampang
yang mana tahun 2012 merupakan tahun terburuk bagi mereka.
Karena Indonesia merupakan negara
hukum yang menjunjung tinggi HAM, tapi kenyataannya masih sering terjadi
pelanggaran HAM, seperti pelanggaran kebebasan memeluk agama dan beribadah maka
penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul ”Memeluk Agama Merupakan HAM yang Hakiki”.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa
itu Hak Asasi Manusia?
2. Bagaimana
Sejarah HAM?
3. Apa
saja Macam-Macam HAM ?
4. Apa
saja Pengakuan Bangsa Indonesia Akan HAM?
5. Apa
saja Upaya Penegakan HAM di Indonesia?
6. Apa
saja Contoh Pelanggaran HAM?
7. Bagaimanakah
hak memeluk agama di Indonesia?
8. Apakah
memeluk agama merupakan HAM yang Hakiki?
9. Bagaimanakah
kebebasan memeluk agama itu?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui Hak Asasi manusia
2. Untuk
mengetahui sejarah HAM
3. Untuk
mengetahui Macam-macam HAM
4. Untuk
mengetahui Pengakuan Bangsa Indonesia Akan HAM
5. Untuk
mengetahui Upaya Penegakan HAM di Indonesia
6. Untuk
mengetahui Contoh pelanggaran HAM
7. Untuk
mengetahui Hak Memeluk Agama di Indonesia
8. Untuk
mengetahui Memeluk Agama merupakan HAM yang Hakiki
9. Untuk
mengetahui Kebebasan Memeluk Agama
1.4
Metode Penulisan
1. Deskriptif
2. Kajian pustaka dilakukan dengan
mencari literatur di internet dan buku-buku panduan
1.5
Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
1.2 Rumusan
Masalah
1.3 Tujuan
Penulisan
1.4 Metode
Penulisan
1.5 Sistematika
Penelitian
Bab II KERANGKA TEORI
2.1 Definisi
HAM
2.2 Sejarah
HAM
2.3 Macam-macam
HAM
2.4 Pengakuan
Bangsa Indonesia Akan HAM
2.5 Penegakan
HAM
2.6 Contoh
pelanggaran HAM
Bab III Hak Beragama dan Beribadah
Bersifat Hakiki
3.1
Rapor Merah Kebebasan Beribadah di
Indonesia
3.2
Memeluk Agama merupakan HAM yang Hakiki
3.3
Kebebasan Memeluk Agama
BAB IV PENUTUP
4.1
Kesimpulan
4.2
Saran
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Hak Asasi Manusia
Hak
merupakan sebuah instrumen yang bersifat hakiki dalam kehidupan manusia,
terlebih lagi hak yang disebut Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia (HAM)
merupakan sebuah komposisi penting bagi dasar kehidupan manusia, dimana
kemunculannya tidak serta merta, melainkan melalui sejarah dan perencanaan yang
begitu panjang dan rumit. Hal ini disebabkan kandungan HAM yang berisi hak
pokok bagi manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa
dan bukan pemberian semata oleh para penguasa. Jadi, HAM / Hak Asasi Manusia
adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang
berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. HAM merupakan
hak dasar yang melekat dan dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa.
HAM
terbagi menjadi dua proposisi. Yang pertama terdapat hak dasar yang meliputi
hak hidup (tanpa ancaman), hak kebebasan, hak memeluk agama, hak mendapat
informasi, hak berpendapat, hak kepemilikan pribadi serta hak memilih suatu
obyek. Sementara itu terdapat hak yang lebih bersifat yuridis meliputi hak
tidak menjadi budak, hak tidak disiksa, hak persamaan dimuka hukum dan hak
praduga tak bersalah.
2.2
Sejarah HAM
Perwujudan
mengenai konsepsi Hak Asasi Manusia bukanlah suatu hal yang terjadi begitu
saja, namun disertai alur sejarah sebagai latar belakangnya. Para pengamat HAM
menyatakan embrio dari instrument HAM adalah kelahiran Magna Charta pada tahun
1215. Lahirnya Magna Charta didasari oleh ketidakpuasan rakyat terhadap posisi
Raja John di Inggris yang kebal hukum walaupun raja sendiri yang meratifikasi
hadirnya hukum tersebut. Magna Charta pada intinya berisi kewajiban raja untuk
mempertanggungjawabkan kewenangannya pada parlemen. Babak baru inilah yang
menyadarkan masyarakat internasional akan pentingnya kesetaraan dimuka hukum.
Lahirnya
Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkrit dan
ditandai dengan kemunculan Bill of Rights pada tahun 1689. Bill of Rights
adalah suatu Undang-Undang yang diterima oleh parlemen Inggris sesudah berhasil
dalam tahun sebelumnya mangadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu
revolusi berdarah yang dikenala dengan istilah The Glorious Revolution of 1688.
Kehadiran Bill of Rights telah menghasilkan asas persamaan yang harus
diwujudkan walaupun risikonya terlalu berat. Hal ini disebabkan adanya hak
persamaan itu yang akan melahirkan hak kebebasan. Bill of Rights dipelopori
oleh teori kontrak sosial dari J.J. Rosseau, doktrin Trias Politika oleh
Mountesquieu dan John Locke serta Thomas Jefferson yang mengukuhkan kedua
gagasan tersebut. Selanjutnya pada tahun 1789 lahir Declaration des Droits
de Phomme et du citoyen atau yang sering disebut The French Declaration.
Deklarasi ini berisi tentang pernyataan hak-hak manusia dan warga Negara.
Deklarasi ini merupakan suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan revolusi
Perancis, sebagai perlawanan terhadap kewenangan rezim lama. Dalam naskah ini
dijelaskan secara lebih rinci tentang hak dan dasar-dasar negara hukum.
Salah satu konsep yang ditekankan dalam deklarasi ini adalah adanya praduga tak
bersalah.
Dan
konsepsi terakhir yang terbilang sebagai pencetus HAM adalah Bill of Rights
tahun 1769. Naskah ini ditulis oleh rakyat Amerika dan kemudian menjadi bagian
dari Undang-Undang Dasar 1791. Setelah munculnya berbagai naskah yang
menguatkan konsep HAM, pada abad ke-20 muncul kritik bahwa HAM yang digambarkan
selama ini masih mencakup bidang politik saja. Untuk itu akhirnya dibentuk
Dewan Komisi di PBB yang disebut Comission of Human Rights pada tahun 1946
untuk melengkapi HAM yang sifatnya politik, sosial dan ekonomi. Hak politik
yang ditetapkan antara lain adalah hak hidup (tanpa ancaman), hak kebebasan, hak
memeluk agama, hak mendapat informasi, hak berpendapat, hak kepemilikan pribadi
serta hak memilih suatu obyek, hak tidak menjadi budak, hak tidak disiksa, hak
persamaan dimuka hukum dan hak praduga tak bersalah. Sementara itu terdapat
tambahan HAM yang bersifat sosial ekonomi yaitu hak atas pekerjaan, hak atas
taraf hidup yang baik, hak atas pendidikan dan kesehatan, serta hak pelestarian
kebudayaan. Bila diamati, sejarah perkembangan HAM terdapat empat generasi yang
menjadi langkah terbentuknya HAM secara utuh. Generasi pertama berpandangan
bahwa HAM berpusat pada area yuridis karena dilatarbelakangi usainya Perang
Dunia II yang merenggut kemerdekaan negara jajahan yang haknya dilanggar. Dari
sini lahir Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genoside. Generasi kedua mengkaji perkembangan negara dunia ketiga yang
menuntut lebih dari hak-hak yuridis sebagai konsekuensi kemerdekaan. Mereka
menuntut pembangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Namun nyata terjadi
ketidakseimbangan karena politik dan hukum diabaikan. Dari sini lahir
International Convenant of Economic, Social and Cultural Rights dan
International Covenant on Civil and Political Rights. Generasi selanjutnya
berusaha menyeimbangkan ketimpangan pada generasi sebelumnya. Namun nyatanya,
tidak ada negara yang mampu memenuhi tuntutan tersebut karena ekonomi masih
menjadi satu aspek terpenting. Generasi terakhir melayangkan kritik kepada
peranan negara yang teramat dominan dari generasi sebelumnya. Generasi ini
dipelopori oleh negara kawasan Asia yang pada tahun 1983 mencetuskan Declaration
of The Basic Duties of Asia People and Government dimana deklarasi ini
lebih menekankan keharusan untuk menyelenggarakan HAM dan menjadi tanggung
jawab perorangan.
Dampak
perkembangan HAM juga ditampakkan dalam ajaran Agama Islam karena sifatnya yang
universal sehingga melahirkan dua deklarasi. Yang pertama adalah Deklarasi
Madinah pada tahun 622 M mengenai kesepakatan masyarakat Madinah untuk
melindungi dan menjamin hak-hak sesama warga warga masyarakat tanpa melihat
latar belakang, suku, dan agama. Piagam Madinah ini dideklarasikan Rasulullah
pada tahun 622 M, merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang
berlaku bagi masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi. Terdapat dua landasan
pokok dalam piagam Madinah, yaitu yang pertama semua pemeluk Islam adalah
satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa. Kedua, hubungan antara komunis
Muslim dan non-muslim didasarkan pada prinsip yakni berinteraksi secara baik
dengan sesama tetangga, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela
mereka yang teraniaya, saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama.
Piagam ini bersifat revolusioner, karena menentang tradisi kesukuan Arab saat
itu, tidak ada unsur dominan di dalam suatu kelompok atau suku. Jadi dalam
piagam ini sangat ditekankan asas kesamaan dan kesetaraan.
Deklarasi yang kedua adalah Deklarasi
Kairo. Pada tanggal 5 Agustus 1990 Organization of Islamic Conference (OKI)
mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syariat Islam di Kairo.
Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan Negara-negara OKI ini selanjutnya
dikenal sebagai deklarasi Kairo, berisi 24 pasal tentang hak asasi manusia
berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah yang dalam penerapan dan realitasnya memiliki
beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi manusia yang
dideklarasikan oleh PBB pada tahun 1948. Pasal-pasal yang terdapat dalam
deklarasi Kairo mencakup beberapa persoalan pokok, antara lain hak persamaan
dan kebebasan, hak hidup, hak memperoleh perlindungan, hak kehormatan pribadi,
hak menikah dan berkeluarga, hak wanita sederajat dengan pria, hak anak dari
orang tua, ahak pendidikan dan hak memilih agama. Hak bukan sebuah hal tabu dan
perlu dipermasalahkan. Nyatanya dunia telah mengakui adanya hak sebagai sifat
yang fitrah pada kehidupan manusia dan perlunya kesadaran untuk melaksanakannya
sebagai keharusan.
2.3
Macam-Macam HAM
Macam-macam
HAM yaitu sebagai berikut :
1. Hak
asasi pribadi(personal right) misal hak kemerdekaan, hak menyatakan pendapat,
hak memeluk agama.
2. Hak
asasi ekonomi (property right) misal hak memiliki sesuatu, hak mengadakan
perjanjian, hak bekerja, hak mendapatkan hidup layak.
3. Hak
asasi untuk mendapatkan pengayoman dan perlakuan yang sama dalam keadilan hukum
dan pemerintahan(right of legal equality) misal hak persamaan hukum, hak asas
praduga tak bersalah.
4. Hak
asasi politik(political right) yaitu hak untuk diakui sebagai warga negara.
Misalnya memilih dan dipilih, hak berserikat, hak berkumpul.
5. Hak
asasi sosial dan budaya(social and cultural right) misalnya hak mendapat
pendidikan, hak mendapat santunan, hak pensiun, hak mengembangkan kebudayaan,
hak berekspresi.
6. Hak
asasi untuk mendapat perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum (procedural
right) misal Hak mendapatkan perlakuan yang wajar dan adil dalam penggeledahan,
penangkapan, peradilan dan pembelaan hokum.
2.4
Pengakuan Bangsa Indonesia Akan HAM
Pengakuan akan Hak Asasi manusia dalam Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya adalah
sebagai berikut:
1. Pancasila
Sila kedua pancasila, kemanusiaan
yang adil dan beradab merupakan landasan idiil akan pengakuan dan jaminan HAM
di Indonesia.
2. Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 Alinea Pertama
Hal ini dapat dilihat pada alinea
pertama yang berbunyi “...Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala
bangsa...” berdasarkan hal ini, bangsa indonesia mengakui adanya hak untuk
merdeka dan bebas.
3. Undang-Undang
Dasar 1945
HAM tertuang dalam pasal 28 A-J UUD
1945 hasil amandemen pertama tahun 1999
4. Keputusan
Presiden
Kepres No. 58 tahun 1993 tentang
Komnas HAM dan dan Kepres No. 181
tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan serta Kepres No. 129
tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi manusia
5. Peraturan
Perundang-undangan
UU No. 5 Tahun 1988 tentang
konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan penghukuman lain yang kejam tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi manusia serta UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
2.5
Penegakan HAM
Dalam rangka
memberikan jaminan perlindungan terhadap HAM, di samping dibentuk aturan-aturan
hukum, juga dibentuk kelembagaan yang menangani masalah yang berkaitan denagn
penegakan HAM, antara lain:
1. Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 5
Tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993 yang kemudian dikukuhkan lagi melalui UU
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
2. Pengadilan
Hak Asasi Manusia dibentuk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang pengadilan
HAM. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
Pengadilan Umum dan berkedudukan di daerah Kabupaten atau kota.
3. Pengadilan
Hak Asasi Manusia Ad Hoc dibentuk atas usul dari DPR berdasarkan peristiwa
tertentu dengan Keputusan Presiden Untuk memeriksa dan memutuskan perkara
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangnya UU No. 26 tahun
2000 tentang pengadilan HAM
4. Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. UU No. 26 Tahun 2000 memberikan alternatif bahwa
penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dapat dilakukan di luar Pengadilan HAM.
2.6
Contoh Pelanggaran HAM
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Adapun contoh kasus pelanggarah HAM
yang akan dipublikasikan meliputi kasus pelanggaran HAM yang sudah diajukan ke
sidang pengadilan.
1.
Peristiwa Tanjung Priok
Peristiwa
ini terjadi pada tahun 1984 dengan jumlah korban sebanyak 74 orang. Peristiwa
ini ditandai dengan penyerangan terhadap masa yang berunjuk rasa, dan
penyelesaiannya sudah berlangsung di Pengadilan HAM ad hoc Jakarta pada tahun
2003 hingga 2004.
2.
Penculikan Aktivis 1998
Peristiwa
ini terjadi pada tahun 1984-1998 dengan jumlah korban sebanyak 23 orang.
Peristiwa ini ditandai dengan penghilangan secara paksa oleh pihak Militer
terhadap para aktivis pro-demokrasi. Penyelesaian kasus ini sudah dilakukan di
Pengadilan Militer untuk anggota tim mawar.
3.
Penembakan Mahasiswa Trisakti
Kasus
penembakan mahasiswa Trisakti terjadi pada tahun 1998 dengan jumlah korban
sekitar 31 orang. Peristiwa ini tidandai dengan penembakan aparat terhadap
mahasiswa yang sedang berunjuk rasa. Penyelesaian kasus ini sudah dilaksanakan
di Pengadilan Militer bagi pelaku lapangan.
4.
Kerusuhan Timor-Timur Pasca JajakPendapat
Peristiwa
ini terjadi pada tahun 1999 dengan jumlah korban sebanyak 97 orang. Peristiwa
ini ditandai dengan Agresi Militer dan penyelesaiannya sudah dilakukan di
Pengadilan HAM ad hoc Jakarta pada tahun 2002 hingga 2003.
5.
Peristiwa Abepura,Papua
Kasus
pelanggaran HAM ini terjadi pada tahun 2000 dengan jumlah korban sebanayak 63
orang. Peristiwa ini ditandai dengan penyisiran secara membabi buta terhadap
pelaku yang diduga menyerang Mapolsek Abepura. Penyelesaian kasus ini sudah
dilakukan di Pengadilan HAM di Makassar.
BAB III
HAK BERAGAMA DAN BERIBADAH BERSIFAT
HAKIKI
3.1
Rapor Merah
Kebebasan Beribadah di Indonesia
3.1.1 Gangguan
Tempat Ibadah
Gangguan terhadap tempat ibadah di Indonesia masih terus terjadi.
Meski UUD 45 pasal 29, bahwa
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,
tetapi yang terjadi justru
sebaliknya. Masih banyak terjadi gangguan terhadap tempat ibadah
khususnya gereja di
Indonesia. Alasannya pun beragam dan klise, yakni, tidak ada izin RT/RW, tidak
ada IMB, dan yang lebih parah lagi adalah karena ketidaksukaan (intoleran)
masyarakat terhadap kehadiran tempat ibadah tersebut.
Tak bisa dipungkiri bahwa, gangguan terhadap pendirian tempat ibadah ini
semakin marak pasca terbitnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) : Menteri Dalam
Negeri RI dan Menteri Agama RI Nomor 8 dan 9. Mencuatnya PBM ini dinilai,
justru memicu sejumlah tindakan kekerasan yang berkaitan dengan masalah
keberagamaan, terutama pendirian rumah ibadah. Hal ini terekam jelas bahwa
maraknya kasus penutupan gereja di Bekasi, Bogor, beberapa wilayah di Jawa
Barat serta belasan gereja di Aceh Singkil beberapa waktu lalu
menunjukkan keberagaman dan
kebebasan beribadah di Indonesia masih mendapatkan rapor merah.
3.1.2 Penyegelan
Tempat Ibadah
Seperti
diangkat dalam program Inside MetroTV dengan tema “Menanti Solusi
Damai Untuk Minoritas” beberapa bulan lalu, sedikitnya 16 undung-undung (kapel
tempat ibadah Kristiani) atau gereja yang disegel oleh Tim Terpadu Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Aceh Singkil. Kasus penyegelan dan penyerangan gereja di
Banda Aceh ini terjadi pada 1 Mei 2012 lalu. Polemik penyegelan rumah ibadah
umat Kristiani di Kabupaten Aceh Singkil ini pun sampai sekarang masih
menyisakan tanda tanya. Kapankah umat Kristiani di Indonesia bisa “bebas”
melakukan ibadah? Bahkan penutupan sejumlah gereja di Aceh Singkil juga belum
menjadi perhatian pemerintah. Padahal itu adalah pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) karena ada pembatasan hak-hak warga negara walaupun dengan alasan apapun.
Jika
dicermati, kasus di atas sebenarnya hanya merupakan sebagian dari rentetan
pelanggaran terhadap kebebasan beribadah dan beragama yang di daerah lain
bentuknya bisa bervariasi mulai dari penutupan, penyegelan, intimidasi,
pembubaran secara paksa kegiatan umat beragama tertentu. Sebut saja diantaranya
yang menimpa umat Ahmadiyah, HKBP Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi.
Kasus tersebut masih yang tercatat dan mencuat lewat media massa, bagaimana
dengan kasus serupa yang masih luput dari perhatian karena keterbatasan teknis
maupun tindakan massif namun “ditutupi” oleh penguasa. Tentu angkanya akan
semakin mencengangkan! Menjadi sebuah anomali di abad keterbukaan dan gegap
gempitanya suara-suara kemanusiaan (humanisasi) ini, peristiwa tersebut di atas
masih terjadi dan malah semakin meningkat. Bahkan ketika negara yang mengklaim
dirinya sebagai negara ber-Pancasila tidak pernah tuntas dalam hal beragama dan
beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Lebih mengherankan lagi
ketika suara-suara kritis tentang penghargaan terhadap pluralitas sebagai aspek
lain dari HAM yang harus dijunjung tinggi bukan bahasa baru lagi bagi sebagian
besar rakyat utamanya para aktor dan elit-elit negara. Lalu apa yang salah?.
Maraknya kekerasan bernuansa agama
menunjukkan negara tidak konsisten memberikan perlindungan dan penghormatan
terhadap hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi warganya.
Hal ini juga membuktikan terjadinya disfungsi negara dalam menjalankan amanat
konstitusi. Bukankah negara telah menjamin kebebasan memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya di dalam UUD 1945. Indonesia juga telah meratifikasi
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
yang semakin mempertegaskan lagi jaminan negara atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan sebagai bagian dari HAM yang berlaku secara umum? Bahkan, negara
sebenarnya telah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Kenyataannya,
pemerintah juga gagal menangani berbagai peraturan nasional maupun daerah
(perda) yang jelas-jelas diskriminatif seperti Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri No 09 Tahun 2006, No 8 Tahun 2006 tentang Pendirian
Rumah ibadat, Peraturan perundang-undangan tersebut selain sangat mengekang dan
membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, juga turut menyulut tindakan
sepihak ormas atau kelompok agama lain terhadap kelompok lain. Dalam persfektif
hak asasi manusia, negara dalam hal ini telah melakukan pelanggaran hak asasi
manusia melalui pemberlakuan regulasi.
Kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono tampak lebih gemar berpidato tentang toleransi dari
pada bekerja sungguh-sungguh dan terukur untuk menciptakan toleransi dengan
memberikan jaminan kebebasan terhadap warganegaranya. Tanpa jaminan kebebasan, toleransi
hanya akan menjadi politik kata-kata dari seorang presiden yang tidak
berkontribusi pada pemajuan hak asasi manusia. Sepanjang 2011, tidak kurang
dari 19 kali Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pesan toleransi dalam
berbagai kesempatan.
Tapi
semua pesan itu tidak berbekas. Bahkan untuk sekadar menegur seorang walikota
yang melakukan pembangkangan hukum sekalipun. Sebagai sebuah kapital politik,
kata-kata toleransi memang menyejukkan. Tapi temuan-temuan pemantauan selama
lima tahun terakhir ini justru menunjukkan fakta yang bertolak belakang dari
seluruh kata-kata Presiden RI (Politik Diskriminasi rezim SBY, Kondisi
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011, SETARA Institute).
Jadi
wajar sebenarnya Indonesia dicerca di Sidang Dewan HAM PBB, karena memang pada
prakteknya telah terjadi pelanggran yang sangat memalukan. Sejak tahun 2011
saja, sudah terjadi ratusan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Pada tahun 2011, SETARA Institute mencatat 244 peristiwa
pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 299 bentuk
tindakan, yang menyebar di 17 wilayah pemantauan dan wilayah lain di luar
wilayah pemantauan. Terdapat 5 propinsi dengan tingkat pelanggaran paling
tinggi yaitu, Jawa Barat (57) peristiwa, Sulawesi Selatan (45), Jawa Timur (31)
peristiwa, Sumatera Utara (24) peristiwa, dan Banten (12) peristiwa.
Ketika
suatu ekspresi keberagamaan yang kritis ditekan dan dilarang oleh kelompok baik
mayoritas maupun minoritas, maka mandat demokrasi Pancasila sedang dipertaruhkan.
Sama halnya ketika demokrasi Pancasila tidak diikuti dengan penghormatan dan
penegakan HAM secara mutlak berarti demokrasi tersebut hanya sebatas retorika.
Dengan kata lain, dengan tidak adanya kebebasan beragama, berkeyakinan dan
beribadah akan memupuskan harapan terhadap pemenuhan hak-hak sipil dan politik,
ekonomi, sosial maupun budaya. Negara seharusnya bertindak tegas dalam upaya
melindungi kebebasan beragama semua kelompok berdasarkan konstitusi dan
deklarasi umum PBB tentang HAM. Termasuk segera mengevaluasi dan mencabut semua
peraturan yang tidak obyektif dan diskriminatif seperti SKB 2 menteri tentang
pendirian rumah ibadah, perda-perda di tingkat daerah yang bias SARA dan
mengoptimalkan kinerja aparat penegak hukum semisal kepolisian untuk bekerja
dengan wawasan HAM.
3.1.3 Penyegelan
Masjid Jemaat Ahmadiyah
Pada Tanggal 4 April 2013, Pemerintah Kota
Bekasi menyegel dan memagari Masjid Al-Misbah di jalan Terusan Pangrango Nomor
44, Jatibening, Bekasi. Tindakan Pemerintah Kota Bekasi tersebut mendapatkan
perlawanan dari Jemaah Ahmadiyah Bekasi. Upaya penyegelan telah dimulai dari
pukul 13.00 WIB, namun dengan dikawal 200 personil gabungan Satpol PP Kota
Bekasi, Kepolisian Sektor Pondok Gede, serta beberapa personil TNI penyegelan
dan pemagaran baru dilaksanakan pukul 18.30 WIB. Penyegelan itu dilakukan atas
dasar Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI, Jaksa Agung RI, dan Menteri
Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2008, Kep-033/A/JA/6/2008, Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor 11/Munas VII/MUI/15/2005, Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor
12 Tahun 2011, dan Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 40 Tahun 2011 (Bab IV Pasal
4). Pada akhirnya, Jemaah Ahmadiyah hanya bisa pasrah melihat Masjidnya disegel
aparat.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
menilai Tindakan Pemerintah Kota Bekasi telah bertentangan dengan UUD 1945
karena didalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 ditegaskan
bahwa “Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Selain itu, Pemerintah Kota
Bekasi juga melanggar Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dimana ditegaskan bahwa “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu” dengan kata lain tindakan Walikota
dan Satpol PP kota Bekasi yang melakukan penyegelan dan pemagaran Masjid
Al-Misbah telah bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
YLBHI Mengecam tindakan Walikota dan
Aparat Satpol PP Kota Bekasi yang melakukan penyegelan dan pemagaran Mesjid
Ahmadiyah Al- Misbah yang secara langsung melawan Konstitusi Negara dimana
negara menjamin perlindungan bagi Rakyat Indonesia untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu .
Tindakan yang dilakukan Aparat Pemerintah Kota Bekasi adalah suatu tindakan
yang berlebihan (Extra Exercive). Aktivitas Jemaat Ahmadiyah bukanlah suatu
ancaman bagi Negara yang membuat disabilitas dan disintegrasi Negara. Mereka
melainkan warga negara yang mesti diayomi dan di lindungi oleh Negara dalam hal
ini Pemerintah Kota Bekasi.
Tindakan Pemerintah Kota Bekasi yang
penyegelan masjid Ahmadiyah merupakan tindakan langsung (commision) kejahatan
terhadap Hak Asasi Manusia dalam hal ini dalam kegiatan kebebasan untuk
menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan. Semestinya, Pemerintah kota
bekasi melindunggi semua warganya dari ancaman pelanggaran Hak Asasi Manusia
sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dimana di ayat (1) ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaannya itu.”dan
di ayat (2) ditegaskan bahwa Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agama yang masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Seharusnya Pemerintah
Kota Bekasi menjadi pelindung hak masyarakat untuk beribadah HAM sehingga
menciptakan hubungan yang harmoni diantara masyarakat.
Sejak Januari 2013 hingga April 2013,
tercatat 5 kasus pelanggaran terhadap hak beribadah Jemaah Ahmadiyah. 1 Kasus
di Provinsi Jambi, 3 Kasus di Provinsi Jawa Barat dan 2 kasus di Jabodetabek.
YLBHI juga
Mempertanyakan kehadiran personel TNI didalam penyegelan Masjid Al-Misbah yang
bertentangan dengan Tugas Pokok dan Fungsi didalam Undang-Undang No. 34 Tahun
2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Tridarma Ekakarma berdasarkan
Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/45/VI/2010 Tanggal 15 Juni 2010. YLBHI Mendesak
Walikota Bekasi dan Seluruh Aparatur terkait, untuk segera mencabut
pagar dan segel terhadap Masjid Al-Misbah, Bekasi karena bertentangan dengan
Konstitusi Negara Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika.
3.1.4 Pengusiran
Jemaat Syiah
Beberapa bulan yang lalu, banyak media
yang memberitakan bahwa warga di sampang madura
yang berfaham syiah diusir oleh masyarakat sekitar. Jika berbicara
mengenai hukum, jelas pengusiran tersebut sangat dilarang. Negara Indonesia
adalah negara hukum, maka dari itu hukum harus ditegakkan dengan
seadil-adilnya. Berdasarkan Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali ”. Dalam pasal
terdebut sangat jelas bahwa di negara ini siapapun bebas memeluk agama,
sedangkan ayat (2) UUD 1945 memberikan kebebasan meyakini kepercayaan.
Pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh masyarakat yang mengusir warga syiah
sampang tersebut yaitu elah melanggar pasal 28 E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Yang mana setiap orang bebas memeluk agama dan meyakini kepercayaan, serta
setiap orang bebas memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya
serta berhak kembali. Pengusiran tersebut berarti telah melarang warga syiah
untuk berdomisili di tempat tinggal asal dan melarang untuk kembali ke tempat
tinggal asalnya. Padahal jelas dalam pasal tersebut bahwa setiap orang bebas
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak
kembali.
3.1.5 Eksekusi
murtadin Penghujat Islam
Arogansi
murtadin yang menabur penodaan agama menuai badai. Omega Suparno (42), seorang
murtadin dari kota ukir Jepara tewas mengenaskan dieksekusi trio mujahid
setelah terbukti melecehkan Islam secara provokatif. Meski terancam hukuman
mati oleh hukum thaghut, trio mujahid Jepara tak gentar di jalan Allah.
Murtadin
naas warga desa Mayong Kidul, Mayong Jepara Jateng ini dieksekusi setelah
melakukan penodaan agama terhadap mujahidin dengan melecehkan Al-Qur'an, Allah
SWT, Nabi Muhammad dan Syariat Islam. Sedangkan trio mujahid Jepara yang
mengeksekusi murtadin calon pendeta itu adalah Ustadz Amir Mahmud (29), Sony
Sudarsono (29), dan Agus Suprapto (31).
Ustadz
Amir Mahmud adalah alumnus pesantren tauhid terbesar di kotanya yang sudah
malang melintang di dunia jihad. Usai menamatkan pendidikan di pesantren tahun
2000, ayah seorang anak ini ditugaskan dakwah di Lombok, NTB. Tahun 2001,
ketika bumi Ambon bergolak, ia terpanggil untuk berjihad selama 4,5 tahun
membela kaum muslimin yang tertindas.
Sony
Sudarsono adalah mujahid yang sudah malang-melintang berjihad hingga
mancanegara. Ayah dua orang anak ini pernah mengikuti pelatihan jihad di Moro
Pilipina. Sedangkan Agus Suprapto, warga Semper Barat, Cililing, Jakarta Utara,
adalah mujahid yang pernah bergabung bersama kafilah i’dad di Aceh bersama Abu
Umar. Ayah empat orang anak ini sempat menjadi buronan Densus 88 Antiteror karena
jihadnya.
Eksekusi
terhadap murtadin calon pendeta ini bermula pada bulan Oktober 2012, saat
Ustadz Amir menerima pengaduan dari berbagai aktivis di Kudus, mengenai sepak
terjang penginjil Omega Suparno setelah murtad meninggalkan Islam. Setelah murtad,
jebolan pesantren Kudus yang sempat kuliah di IAIN Yogyakarta ini pindah kuliah
ke Sekolah Tinggi Theologia Baptis Indonesia (STBI) Semarang untuk mengejar
obsesi menjadi pendeta.
Setelah
data, alamat dan identitas Suparno terkumpul, Ustadz Amir berkunjung ke rumah
Suparno dengan misi untuk berdialog dan mengkonfirmasi latar belakang
kemurtadannya, pada Selasa sore (11/12/2012).
Mulanya,
dialog berjalan biasa saja seputar perkenalan. “Njenengan leres Mas Suparno,
lulusan Ma’ahid yang pindah agama?” tanya Amir. (Apakah benar anda bernama
Suparno, alumnus Ma’ahid yang sudah pindah agama?). “Inggih, leres,” jawab
Suparno singkat. (Iya, benar).
Namun
agenda dialog yang direncanakan tak semulus rencana awal. Dikonfirmasi
baik-baik, Suparno malah ngelunjak. Dengan provokatif, ia memaparkan
bahwa imannya dalam Kristen sudah mantap dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
Bahwa semua manusia hanya bisa selamat di surga bila mengimani Yesus sebagai
tuhan dan juru selamat. Dosa manusia hanya bisa dibersihkan dengan tebusan
kematian Yesus di ting salib, dan keselamatannya sudah dijamin 100 persen oleh
Yesus.
Untuk
mempertegas kesaksiannya, Supar sapaan akrabnya mengumbar pernyataan yang
mendiskreditkan Al-Qur'an. “Al-Qur'an itu tidak ada yang benar, salah
semua. Kalau di sini ada Al-Qur'an, saya injak-injak saja,” ejeknya sambil
memeragakan kaki menginjak-injak lantai rumahnya.
terkait
kasus eksekusi mati murtadin penginjil Omega Suparno asal kota ukir Jepara oleh
Trio Mujahid Jepara yakni Ustadz Amir Mahmud, Sony Sudarsono, dan Agus
Suprapto, yang telah melecehkan Islam, Munarman SH menyatakan setuju dan hal
itu satu hal yang pantas untuk dilakukan.
Karena
dalam kasus tersebut, negara tidak berperan aktif untuk mencegah orang-orang
yang telah jelas menghina dan menghujat agama lain, dalam hal ini agama Islam.
Menurut direktur An Nashr Institut ini, apa yang dilakukan Trio Mujahid Jepara
merupakan ekspresi spontanitas untuk membela Islam.
Pasalnya,
jika melihat kronologi yang terjadi sebelumnya, eksekusi mati Trio Mujahid
Jepara terhadap calon pendeta murtadin itu ada rentetan peristiwa yang mengiringinya. Yakni, sang
murtadin tersebut telah terbukti dalam pandangan Islam melecehkan dan menghina
simbol agama Islam. Bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap Islam yang
diajarkan oleh murtadin penginjil itu antara lain bahwa Allah itu sebenarnya
tidak ada dan baru diadakan sejak adanya bangsa Arab, Al-Qur'an itu salah semua
dan layak untuk injak-injak, Nabi Muhammad itu tidak boleh dikultuskan karena
kenabiannya setara dengan gelar kiyai di Jawa dan sebagainya.
“Yaa,
bagus itu. Karena disitu negara tidak berperan dan orang-orang yang seperti itu
biar kapok (untuk tidak menghina Islam lagi),” kata Munarman kepada
voa-islam.com sebelum mengisi talk show “Membongkar Diskriminasi HAM Terhadap
Umat Islam” di masjid Baitul Makmur Solo Baru, Sukoharjo pada Ahad (23/6/2013).
Salah
satu pimpinan pusat Front Pembela Islam (FPI) ini menghimbau para pendeta dan
penginjil agar lebih berhati-hati kembali di kemudian hari. Jangan sampai umat
Islam terusik dan kemudian merespokan tindakan provokatif seperti itu.Hal itu
biar menjadi pelajaran dan peringatan bagi para pendeta. Karena jika Islam
dihina dan dilecehkan, umat Islam tidak akan tinggal diam.
Khalifah
menyatakan kasus eksekusi mati murtadin penginjil di Jepara juga harus
betul-betul menjadi pelajaran dan peringatan bagi para pendeta dalam menyampaikan
ajarannya jangan sampai menyinggung unsur
SARA. Ia
menambah, jangan sampai kasus seperti itu terulang kembali dan umat Islam yang
dipersalahkan. Karena jika terulang kembali hujatan-hujatan dan bentuk
pelecehan lainnya terhadap simbol agama Islam dalam bentuk apapun, maka umat
Islam takkan diam saja.
3.2 Memeluk Agama merupakan HAM
yang Hakiki
Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki
oleh seseorang yang telah diberikan oleh tuhan yang maha esa kepada makhluknya
(manusia) sejak dalam kandungan yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Ciri-ciri
Hak Asasi Manusia yaitu yang pertama bersifat Hakiki yang artinya HAM sudah ada
sejak manusia lahir, yang kedua bersifat universal yaitu HAM berlaku umum untuk
dan mengenai semua orang, di mana saja dan kapan saja, tanpa memandang jenis
kelamin dan kondisi psikosomatis, ras, agama, suku bangsa, negara, pandangan
hidup, dan pandangan politik, yang ketiga kepemilikannya bersifat kodrati, dan
karena itu spiritual. Maksudnya, HAM itu inheren dalam kodrat kemanusiaan kita
sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sejak kita diciptakan dan dilahirkan, dan karena
itu hak-hak asasi itu dipandang sebagai karunia pemberian Sang Pencipta. Ciri
kodrati dan spiritual ini tampak dalam kenyataan bahwa manusia tidak bisa
menjalani kehidupannya sebagaimana layaknya tanpa hak-hak itu, dan dengan
hak-hak itu manusia dapat lebih memuliakan Tuhan Sang Penciptanya. Karena
bersifat kodrati, HAM tidak dapat diserahkan pada pihak lain dan tidak dapat
dibagi-bagi. yang keempat bersifat supralegal dan menuntut dengan keras
pemenuhannya dari pihak lain, termasuk negara. Maksudnya, hak-hak asasi tidak
pernah boleh dan tidak pernah bisa dilanggar, diperkosa, dibatasi dan
ditiadakan/dihapus oleh pihak mana pun termasuk Negara.
Hak memeluk agama dan beribadah, adalah
salah satu Hak Asasi Manusia. Hak ini sudah ada sejak manusia lahir, jadi
memeluk agama adalah Hak Asasi manusia yang hakiki. Indonesia
adalah negara yang berdasarkan pancasila yang mana di dalamnya berisi mengenai
ketuhanan yang maha esa, yang berarti setiap warga negara indonesia wajib
memeluk satu agama yaitu agama yang diakui oleh pemerintah dan memilih sesuai
dengan keyakinan yang dipercayai oleh seseorang itu sendiri. Namun sudah tidak
jarang kita temui pelanggaran HAM mengenai kebebasan memeluk agama seperti yang
terjadi pada akhir-akhir ini ada film yang membahas tentang Nabi Muhammad yang
isi dari film itu menceritakan tentang keburukan Nabi Muhammad yang pada
kenyataannnya itu tidak benar dan tidak bisa di buktikan, film ini sangat
memberikan pengaruh negatif terhadap
pemeluk umat islam seluruh dunia dan penduduk di indonesia menanggapi
hal ini dengan berbagai tindakan seperti demo besar-besaran yang berakibat
merugikan. Dan di Indonesia juga sering terjadi kasus yaitu muncul nabi baru
dan banyaknya agama yang muncul yang berasaskan agama islam, bentuk seperti ini
yang menghancurkan keyakinan pemeluk agama islam terganggu atau merasa bimbang
terhadap agama yang dipercayai itu, dan ini merupakan bentuk pelanggaran HAM
mengenai kebebasan beragama, padahal sudah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 29
ayat 2 yang berbunyi negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Dan inilah faktor yang paling jelas bahwa kebebasan
beragama telah diberikan pemerintah dan telah dijamin pemerintah tentang kebebasan
beragama. Di indonesia pemerintah sudah menetapkan agama-agama apa saja yang
boleh dianut oleh warga negara indonesia. Oleh karena itu Agama-agama yang
tidak diakui pemerintah dianggap pelanggaran HAM terhadap keyakinan beragama
dan termasuk melanggar pasal-pasal perlindungan terhadap keyakinan beragama.
3.3 Kebebasan Memeluk Agama
Adakah kebebasan yang benar-benar bebas tanpa batas? Bukankah kebebasan
seseorang atau sekelompok orang, sesungguhnya akan menjadi pembatas dari
kebebasan orang lain atau kelompok lainnya. Dalam bahasa logika yang lain,
kebebasan seseorang atau sekelompok orang pada saat bersamaan sesungguhnya
telah merampas kebebasan orang lain atau kelompok yang lainnya. Kebebasan
beragama adalah kebebasan untuk menentukan pilihan memeluk suatu agama yang
diyakini. Kebebasan ini merupakan hak asasi setiap manusia yang dilindungi oleh
undang-undang. Kebebasan beragama juga dapat bermakna bebas membentuk
agama baru. Ketika seseorang bebas memeluk suatu agama, sesungguhnya ia tidak
lagi bebas, karena akan terikat dengan ketentuan agama yang dipeluk dan
diyakininya. Demikian juga, ketika sekelompok orang membuat suatu agama baru,
sebagai “produk baru keyakinannya,” maka saat itu juga sesungguhnya mereka
tidak lagi memiliki kebebasan, karena setiap produk keyakinan harus teruji oleh
publik dengan syarat-syarat rasional atau juga mungkin irasional yang diyakini.
Intinya tidak ada kebebasan beragama yang “sebebas-bebas”nya.
Fakta keberagamaan juga menunjukkan, bahwa di
negara-negara yang diklaim sebagai negara bebas, seperti beberapa negara di
Eropa dan Barat, aliran-aliran atau sekte-sekte tertentu juga terlarang bahkan
tak jarang mengalami tindak kekerasan oleh penganut agama lainnya, ditangkap
dan diadili dengan alasan mengganggu ketertiban umum atau mengancam keselamatan
dan ketenangan publik. Kebebasan beribadah, adalah hak bagi setiap pemeluk
agama untuk melaksanakan kewajiban agamanya sesuai dengan keyakinannya.
Melaksanakan ibadah sesuai tuntunan agama yang dianut juga sekaligus menjadi
kewajiban para pemeluknya sebagai cermin ketundukan, ketaatan dan loyalitas
keberagamaan seseorang terhadap agama yang diyakininya. Adakah kebebasan
beribadah bermakna kebebasan sebebas-bebasnya (tanpa batas) untuk melaksanakan
ibadah menurut keyakinan setiap penganut agama? Faktanya tidaklah mungkin.
Penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang kemudian menjadi dasar penetapan
Pembukaan UUD-1945 adalah bukti historis yang sangat kuat untuk menjawab
pertanyaan di atas.
Sepanjang sejarah umat manusia, tidak ada manusia yang
hidup bebas tanpa terikat oleh aturan, termasuk pada masyarakat primitif
sekalipun. Semakin modern kehidupan masyarakat, semakin banyak aturan yang
mengikatnya. Lebih lagi dalam kehidupan beragama. Aturan itulah yang akan
memberikan perlindungan atas hak-hak umat beragama. Tetapi yang terpenting
adalah bagaimana melaksanakan aturan itu secara konsisten. Mau bersedia dan
bertenggangrasa untuk hidup dengan orang yang berbeda agama atau beda
keyakinan.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
HAM merupakan hak dasar yang melekat
dan dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak memeluk agama
dan beribadah, adalah salah satu Hak Asasi Manusia. Hak ini sudah ada sejak
manusia lahir, jadi memeluk agama adalah Hak Asasi manusia yang hakiki.
4.2 Saran
1.
Sebaiknya Pemerintah lebih memperhatikan kerukunan dan
toleransi antar umat beragama agar tidak terjadi konflik antar pemeluk agama
yang bisa mengancam stabilitas nasional.
Seharusnya pemerintah menggalakkan kepada
masyarakat tentang toleransi, dan tenggang rasa antar umat beragama agar tidak
terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah.
No comments:
Post a Comment