truth


counters

nama

Tuesday 25 February 2014

makalah Memeluk Agama Merupakan HAM yang Hakiki



BAB I
PENDAHULUAN

1.1             Latar Belakang

Di Indonesia masalah pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan cukup banyak terjadi. Pasalnya, berdasarkan catatan akhir tahun 2012 lalu Wahid institute, yaitu sebuah LSM khusus perlindungan dan penegakan HAM mencatat sepanjang tahun 2012 lalu terdapat 274 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Koordinator program wahid institute Rumadi Ahmad mengatakan bahwa pelanggaran terbanyak terjadi pada bulan mei 2012 lalu, sebanyak 30 kasus. Bentuk pelanggaran yang dilaporkan kepada wahid institute yaitu pembiaran atau kelalaian dari aparat dalam melindungi tempat peribadahan 33 kasus, pelarangan rumah ibadah 26 kasus, pelarangan aktivitas keagamaan 18 kasus, kriminalisasi keyakinan 17 kasus, pemaksaan keyakinan 12 kasus, dan intimidasi 4 kasus.
Sementara tahun 2012 lalu, Jawa Barat merupakan provinsi yang paling banyak melakukan kasus pelanggaran yaitu sebanyak 43 kasus, disusul dengan Aceh 22 kasus, Jawa Tengah  dan Jawa Timur sebanyak 15 kasus.  Lebih jauh koordinator program wahid institute menyebutkan bahwa korban terbanyak dari pelanggaran kebebasan beragama yaitu umat kristen dan katolik sebanyak 37 kasus, kelompok terduga sesat 25 kasus, individu 13 kasus, Jamaah Ahmadiyah indonesia 13 kasus dan pengikut syiah 12 kasus. Tak hanya itu, Ahmadiyah dan Syiah juga menjadi kelompok yang terus mengalami pelanggaran kebebasan beragama. Khususnya jamaah Syiah di Sampang yang mana tahun 2012 merupakan tahun terburuk bagi mereka.
Karena Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi HAM, tapi kenyataannya masih sering terjadi pelanggaran HAM, seperti pelanggaran kebebasan memeluk agama dan beribadah maka penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul ”Memeluk Agama Merupakan HAM yang Hakiki”.

1.2             Rumusan Masalah
1.      Apa itu Hak Asasi Manusia?
2.      Bagaimana Sejarah HAM?
3.      Apa saja Macam-Macam HAM ?
4.      Apa saja Pengakuan Bangsa Indonesia Akan HAM?
5.      Apa saja Upaya Penegakan HAM di Indonesia?
6.      Apa saja Contoh Pelanggaran HAM?
7.      Bagaimanakah hak memeluk agama di Indonesia?
8.      Apakah memeluk agama merupakan HAM yang Hakiki?
9.      Bagaimanakah kebebasan memeluk agama itu?

1.3             Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Hak Asasi manusia
2.      Untuk mengetahui sejarah HAM
3.      Untuk mengetahui Macam-macam HAM
4.      Untuk mengetahui Pengakuan Bangsa Indonesia Akan HAM
5.      Untuk mengetahui Upaya Penegakan HAM di Indonesia
6.      Untuk mengetahui Contoh pelanggaran HAM
7.      Untuk mengetahui Hak Memeluk Agama di Indonesia
8.      Untuk mengetahui Memeluk Agama merupakan HAM yang Hakiki
9.      Untuk mengetahui Kebebasan Memeluk Agama

1.4             Metode Penulisan
1.      Deskriptif
2.      Kajian pustaka dilakukan dengan mencari literatur di internet dan buku-buku panduan

1.5             Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Rumusan Masalah
1.3  Tujuan Penulisan
1.4  Metode Penulisan
1.5  Sistematika Penelitian

Bab II KERANGKA TEORI
2.1  Definisi HAM
2.2  Sejarah HAM
2.3  Macam-macam HAM
2.4  Pengakuan Bangsa Indonesia Akan HAM
2.5  Penegakan HAM
2.6  Contoh pelanggaran HAM

Bab III Hak Beragama dan Beribadah Bersifat Hakiki
     3.1 Rapor Merah Kebebasan Beribadah di Indonesia
     3.2 Memeluk Agama merupakan HAM yang Hakiki
     3.3 Kebebasan Memeluk Agama

BAB IV PENUTUP
     4.1 Kesimpulan
     4.2 Saran


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hak Asasi Manusia
           
            Hak merupakan sebuah instrumen yang bersifat hakiki dalam kehidupan manusia, terlebih lagi hak yang disebut Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan sebuah komposisi penting bagi dasar kehidupan manusia, dimana kemunculannya tidak serta merta, melainkan melalui sejarah dan perencanaan yang begitu panjang dan rumit. Hal ini disebabkan kandungan HAM yang berisi hak pokok bagi manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan bukan pemberian semata oleh para penguasa. Jadi, HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. HAM merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
            HAM terbagi menjadi dua proposisi. Yang pertama terdapat hak dasar yang meliputi hak hidup (tanpa ancaman), hak kebebasan, hak memeluk agama, hak mendapat informasi, hak berpendapat, hak kepemilikan pribadi serta hak memilih suatu obyek. Sementara itu terdapat hak yang lebih bersifat yuridis meliputi hak tidak menjadi budak, hak tidak disiksa, hak persamaan dimuka hukum dan hak praduga tak bersalah.

2.2 Sejarah HAM
           
            Perwujudan mengenai konsepsi Hak Asasi Manusia bukanlah suatu hal yang terjadi begitu saja, namun disertai alur sejarah sebagai latar belakangnya. Para pengamat HAM menyatakan embrio dari instrument HAM adalah kelahiran Magna Charta pada tahun 1215. Lahirnya Magna Charta didasari oleh ketidakpuasan rakyat terhadap posisi Raja John di Inggris yang kebal hukum walaupun raja sendiri yang meratifikasi hadirnya hukum tersebut. Magna Charta pada intinya berisi kewajiban raja untuk mempertanggungjawabkan kewenangannya pada parlemen. Babak baru inilah yang menyadarkan masyarakat internasional akan pentingnya kesetaraan dimuka hukum.
            Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkrit dan ditandai dengan kemunculan Bill of Rights pada tahun 1689. Bill of Rights adalah suatu Undang-Undang yang diterima oleh parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya mangadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi berdarah yang dikenala dengan istilah The Glorious Revolution of 1688. Kehadiran Bill of Rights telah menghasilkan asas persamaan yang harus diwujudkan walaupun risikonya terlalu berat. Hal ini disebabkan adanya hak persamaan itu yang akan melahirkan hak kebebasan. Bill of Rights dipelopori oleh teori kontrak sosial dari J.J. Rosseau, doktrin Trias Politika oleh Mountesquieu dan John Locke serta Thomas Jefferson yang mengukuhkan kedua gagasan tersebut. Selanjutnya pada tahun 1789 lahir Declaration des Droits de Phomme et du citoyen  atau yang sering disebut The French Declaration. Deklarasi ini berisi tentang pernyataan hak-hak manusia dan warga Negara. Deklarasi ini merupakan suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap kewenangan rezim lama. Dalam naskah ini dijelaskan secara lebih rinci tentang hak dan dasar-dasar negara hukum.  Salah satu konsep yang ditekankan dalam deklarasi ini adalah adanya praduga tak bersalah.
            Dan konsepsi terakhir yang terbilang sebagai pencetus HAM adalah Bill of Rights tahun 1769. Naskah ini ditulis oleh rakyat Amerika dan kemudian menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar 1791. Setelah munculnya berbagai naskah yang menguatkan konsep HAM, pada abad ke-20 muncul kritik bahwa HAM yang digambarkan selama ini masih mencakup bidang politik saja. Untuk itu akhirnya dibentuk Dewan Komisi di PBB yang disebut Comission of Human Rights pada tahun 1946 untuk melengkapi HAM yang sifatnya politik, sosial dan ekonomi. Hak politik yang ditetapkan antara lain adalah hak hidup (tanpa ancaman), hak kebebasan, hak memeluk agama, hak mendapat informasi, hak berpendapat, hak kepemilikan pribadi serta hak memilih suatu obyek, hak tidak menjadi budak, hak tidak disiksa, hak persamaan dimuka hukum dan hak praduga tak bersalah. Sementara itu terdapat tambahan HAM yang bersifat sosial ekonomi yaitu hak atas pekerjaan, hak atas taraf hidup yang baik, hak atas pendidikan dan kesehatan, serta hak pelestarian kebudayaan. Bila diamati, sejarah perkembangan HAM terdapat empat generasi yang menjadi langkah terbentuknya HAM secara utuh. Generasi pertama berpandangan bahwa HAM berpusat pada area yuridis karena dilatarbelakangi usainya Perang Dunia II yang merenggut kemerdekaan negara jajahan yang haknya dilanggar. Dari sini lahir Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genoside. Generasi kedua mengkaji perkembangan negara dunia ketiga yang menuntut lebih dari hak-hak yuridis sebagai konsekuensi kemerdekaan. Mereka menuntut pembangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Namun nyata terjadi ketidakseimbangan karena politik dan hukum diabaikan. Dari sini lahir International Convenant of Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Generasi selanjutnya berusaha menyeimbangkan ketimpangan pada generasi sebelumnya. Namun nyatanya, tidak ada negara yang mampu memenuhi tuntutan tersebut karena ekonomi masih menjadi satu aspek terpenting. Generasi terakhir melayangkan kritik kepada peranan negara yang teramat dominan dari generasi sebelumnya. Generasi ini dipelopori oleh negara kawasan Asia yang pada tahun 1983 mencetuskan Declaration of The Basic Duties of Asia People and Government dimana deklarasi ini lebih menekankan keharusan untuk menyelenggarakan HAM dan menjadi tanggung jawab perorangan.
            Dampak perkembangan HAM juga ditampakkan dalam ajaran Agama Islam karena sifatnya yang universal sehingga melahirkan dua deklarasi. Yang pertama adalah Deklarasi Madinah pada tahun 622 M mengenai kesepakatan masyarakat Madinah untuk melindungi dan menjamin hak-hak sesama warga warga masyarakat tanpa melihat latar belakang, suku, dan agama. Piagam Madinah ini dideklarasikan Rasulullah pada tahun 622 M, merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku bagi masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi. Terdapat dua landasan pokok dalam piagam Madinah, yaitu  yang pertama semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa. Kedua, hubungan antara komunis Muslim dan non-muslim didasarkan pada prinsip yakni berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama. Piagam ini bersifat revolusioner, karena menentang tradisi kesukuan Arab saat itu, tidak ada unsur dominan di dalam suatu kelompok atau suku. Jadi dalam piagam ini sangat ditekankan asas kesamaan dan kesetaraan.
     Deklarasi yang kedua adalah Deklarasi Kairo. Pada tanggal 5 Agustus 1990 Organization of Islamic Conference (OKI) mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syariat Islam di Kairo. Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan Negara-negara OKI ini selanjutnya dikenal sebagai deklarasi Kairo, berisi 24 pasal tentang hak asasi manusia berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah yang dalam penerapan dan realitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan semesta hak-hak asasi manusia yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 1948. Pasal-pasal yang terdapat dalam deklarasi Kairo mencakup beberapa persoalan pokok, antara lain hak persamaan dan kebebasan, hak hidup, hak memperoleh perlindungan, hak kehormatan pribadi, hak menikah dan berkeluarga, hak wanita sederajat dengan pria, hak anak dari orang tua, ahak pendidikan dan hak memilih agama. Hak bukan sebuah hal tabu dan perlu dipermasalahkan. Nyatanya dunia telah mengakui adanya hak sebagai sifat yang fitrah pada kehidupan manusia dan perlunya kesadaran untuk melaksanakannya sebagai keharusan.

2.3 Macam-Macam HAM
Macam-macam HAM yaitu sebagai berikut :
1.      Hak asasi pribadi(personal right) misal hak kemerdekaan, hak menyatakan pendapat, hak memeluk agama.
2.      Hak asasi ekonomi (property right) misal hak memiliki sesuatu, hak mengadakan perjanjian, hak bekerja, hak mendapatkan hidup layak.

3.      Hak asasi untuk mendapatkan pengayoman dan perlakuan yang sama dalam keadilan hukum dan pemerintahan(right of legal equality) misal hak persamaan hukum, hak asas praduga tak bersalah.

4.      Hak asasi politik(political right) yaitu hak untuk diakui sebagai warga negara. Misalnya memilih dan dipilih, hak berserikat, hak berkumpul.

5.      Hak asasi sosial dan budaya(social and cultural right) misalnya hak mendapat pendidikan, hak mendapat santunan, hak pensiun, hak mengembangkan kebudayaan, hak berekspresi.

6.      Hak asasi untuk mendapat perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum (procedural right) misal Hak mendapatkan perlakuan yang wajar dan adil dalam penggeledahan, penangkapan, peradilan dan pembelaan hokum.

2.4 Pengakuan Bangsa Indonesia Akan HAM

     Pengakuan akan Hak Asasi manusia dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya adalah sebagai berikut:
1.      Pancasila
Sila kedua pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan landasan idiil akan pengakuan dan jaminan HAM di Indonesia.

2.      Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea Pertama
Hal ini dapat dilihat pada alinea pertama yang berbunyi “...Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa...” berdasarkan hal ini, bangsa indonesia mengakui adanya hak untuk merdeka dan bebas.

3.      Undang-Undang Dasar 1945
HAM tertuang dalam pasal 28 A-J UUD 1945 hasil amandemen pertama tahun 1999
4.      Keputusan Presiden
Kepres No. 58 tahun 1993 tentang Komnas HAM dan  dan Kepres No. 181 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan serta Kepres No. 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi manusia

5.      Peraturan Perundang-undangan
UU No. 5 Tahun 1988 tentang konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan penghukuman lain yang kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia serta UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
    
2.5 Penegakan HAM
   
    Dalam rangka memberikan jaminan perlindungan terhadap HAM, di samping dibentuk aturan-aturan hukum, juga dibentuk kelembagaan yang menangani masalah yang berkaitan denagn penegakan HAM, antara lain:
1.    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 5 Tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993 yang kemudian dikukuhkan lagi melalui UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

2.    Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan Umum dan berkedudukan di daerah Kabupaten atau kota.

3.    Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc dibentuk atas usul dari DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden Untuk memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangnya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM

4.    Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. UU No. 26 Tahun 2000 memberikan alternatif bahwa penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dapat dilakukan di luar Pengadilan HAM.

2.6 Contoh Pelanggaran HAM
    
     Berikut ini adalah beberapa contoh kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Adapun contoh kasus pelanggarah HAM yang akan dipublikasikan meliputi kasus pelanggaran HAM yang sudah diajukan ke sidang pengadilan.
1.      Peristiwa Tanjung Priok
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1984 dengan jumlah korban sebanyak 74 orang. Peristiwa ini ditandai dengan penyerangan terhadap masa yang berunjuk rasa, dan penyelesaiannya sudah berlangsung di Pengadilan HAM ad hoc Jakarta pada tahun 2003 hingga 2004.

2.      Penculikan Aktivis 1998
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1984-1998 dengan jumlah korban sebanyak 23 orang. Peristiwa ini ditandai dengan penghilangan secara paksa oleh pihak Militer terhadap para aktivis pro-demokrasi. Penyelesaian kasus ini sudah dilakukan di Pengadilan Militer untuk anggota tim mawar.

3.      Penembakan Mahasiswa Trisakti
Kasus penembakan mahasiswa Trisakti terjadi pada tahun 1998 dengan jumlah korban sekitar 31 orang. Peristiwa ini tidandai dengan penembakan aparat terhadap mahasiswa yang sedang berunjuk rasa. Penyelesaian kasus ini sudah dilaksanakan di Pengadilan Militer bagi pelaku lapangan.

4.      Kerusuhan Timor-Timur Pasca JajakPendapat
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1999 dengan jumlah korban sebanyak 97 orang. Peristiwa ini ditandai dengan Agresi Militer dan penyelesaiannya sudah dilakukan di Pengadilan HAM ad hoc Jakarta pada tahun 2002 hingga 2003.

5.      Peristiwa Abepura,Papua
Kasus pelanggaran HAM ini terjadi pada tahun 2000 dengan jumlah korban sebanayak 63 orang. Peristiwa ini ditandai dengan penyisiran secara membabi buta terhadap pelaku yang diduga menyerang Mapolsek Abepura. Penyelesaian kasus ini sudah dilakukan di Pengadilan HAM di Makassar.











BAB III
HAK BERAGAMA DAN BERIBADAH BERSIFAT HAKIKI

3.1 Rapor Merah Kebebasan Beribadah di Indonesia

3.1.1 Gangguan Tempat Ibadah
      Gangguan terhadap tempat ibadah di Indonesia masih terus terjadi. Meski UUD 45 pasal 29, bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Masih banyak terjadi gangguan terhadap tempat ibadah khususnya gereja di Indonesia. Alasannya pun beragam dan klise, yakni, tidak ada izin RT/RW, tidak ada IMB, dan yang lebih parah lagi adalah karena ketidaksukaan (intoleran) masyarakat terhadap kehadiran tempat ibadah tersebut.
      Tak bisa dipungkiri bahwa, gangguan terhadap pendirian tempat ibadah ini semakin marak pasca terbitnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) : Menteri Dalam Negeri RI dan Menteri Agama RI Nomor 8 dan 9. Mencuatnya PBM ini dinilai, justru memicu sejumlah tindakan kekerasan yang berkaitan dengan masalah keberagamaan, terutama pendirian rumah ibadah. Hal ini terekam jelas bahwa maraknya kasus penutupan gereja di Bekasi, Bogor, beberapa wilayah di Jawa Barat serta belasan gereja di Aceh Singkil beberapa waktu lalu menunjukkan keberagaman dan kebebasan beribadah di Indonesia masih mendapatkan rapor merah.

3.1.2 Penyegelan Tempat Ibadah
      Seperti diangkat dalam program Inside MetroTV dengan tema “Menanti Solusi Damai Untuk Minoritas” beberapa bulan lalu, sedikitnya 16 undung-undung (kapel tempat ibadah Kristiani) atau gereja yang disegel oleh Tim Terpadu Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Singkil. Kasus penyegelan dan penyerangan gereja di Banda Aceh ini terjadi pada 1 Mei 2012 lalu. Polemik penyegelan rumah ibadah umat Kristiani di Kabupaten Aceh Singkil ini pun sampai sekarang masih menyisakan tanda tanya. Kapankah umat Kristiani di Indonesia bisa “bebas” melakukan ibadah? Bahkan penutupan sejumlah gereja di Aceh Singkil juga belum menjadi perhatian pemerintah. Padahal itu adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena ada pembatasan hak-hak warga negara walaupun dengan alasan apapun.
      Jika dicermati, kasus di atas sebenarnya hanya merupakan sebagian dari rentetan pelanggaran terhadap kebebasan beribadah dan beragama yang di daerah lain bentuknya bisa bervariasi mulai dari penutupan, penyegelan, intimidasi, pembubaran secara paksa kegiatan umat beragama tertentu. Sebut saja diantaranya yang menimpa umat Ahmadiyah, HKBP Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi. Kasus tersebut masih yang tercatat dan mencuat lewat media massa, bagaimana dengan kasus serupa yang masih luput dari perhatian karena keterbatasan teknis maupun tindakan massif namun “ditutupi” oleh penguasa. Tentu angkanya akan semakin mencengangkan! Menjadi sebuah anomali di abad keterbukaan dan gegap gempitanya suara-suara kemanusiaan (humanisasi) ini, peristiwa tersebut di atas masih terjadi dan malah semakin meningkat. Bahkan ketika negara yang mengklaim dirinya sebagai negara ber-Pancasila tidak pernah tuntas dalam hal beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Lebih mengherankan lagi ketika suara-suara kritis tentang penghargaan terhadap pluralitas sebagai aspek lain dari HAM yang harus dijunjung tinggi bukan bahasa baru lagi bagi sebagian besar rakyat utamanya para aktor dan elit-elit negara. Lalu apa yang salah?.
Maraknya kekerasan bernuansa agama menunjukkan negara tidak konsisten memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi warganya. Hal ini juga membuktikan terjadinya disfungsi negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Bukankah negara telah menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya di dalam UUD 1945. Indonesia juga telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang semakin mempertegaskan lagi jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian dari HAM yang berlaku secara umum? Bahkan, negara sebenarnya telah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
      Kenyataannya, pemerintah juga gagal menangani berbagai peraturan nasional maupun daerah (perda) yang jelas-jelas diskriminatif seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 09 Tahun 2006, No 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah ibadat, Peraturan perundang-undangan tersebut selain sangat mengekang dan membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, juga turut menyulut tindakan sepihak ormas atau kelompok agama lain terhadap kelompok lain. Dalam persfektif hak asasi manusia, negara dalam hal ini telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia melalui pemberlakuan regulasi.
      Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tampak lebih gemar berpidato tentang toleransi dari pada bekerja sungguh-sungguh dan terukur untuk menciptakan toleransi dengan memberikan jaminan kebebasan terhadap warganegaranya. Tanpa jaminan kebebasan, toleransi hanya akan menjadi politik kata-kata dari seorang presiden yang tidak berkontribusi pada pemajuan hak asasi manusia. Sepanjang 2011, tidak kurang dari 19 kali Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pesan toleransi dalam berbagai kesempatan.
      Tapi semua pesan itu tidak berbekas. Bahkan untuk sekadar menegur seorang walikota yang melakukan pembangkangan hukum sekalipun. Sebagai sebuah kapital politik, kata-kata toleransi memang menyejukkan. Tapi temuan-temuan pemantauan selama lima tahun terakhir ini justru menunjukkan fakta yang bertolak belakang dari seluruh kata-kata Presiden RI (Politik Diskriminasi rezim SBY, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011, SETARA Institute).
      Jadi wajar sebenarnya Indonesia dicerca di Sidang Dewan HAM PBB, karena memang pada prakteknya telah terjadi pelanggran yang sangat memalukan. Sejak tahun 2011 saja, sudah terjadi ratusan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada tahun 2011, SETARA Institute mencatat 244 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 299 bentuk tindakan, yang menyebar di 17 wilayah pemantauan dan wilayah lain di luar wilayah pemantauan. Terdapat 5 propinsi dengan tingkat pelanggaran paling tinggi yaitu, Jawa Barat (57) peristiwa, Sulawesi Selatan (45), Jawa Timur (31) peristiwa, Sumatera Utara (24) peristiwa, dan Banten (12) peristiwa.
      Ketika suatu ekspresi keberagamaan yang kritis ditekan dan dilarang oleh kelompok baik mayoritas maupun minoritas, maka mandat demokrasi Pancasila sedang dipertaruhkan. Sama halnya ketika demokrasi Pancasila tidak diikuti dengan penghormatan dan penegakan HAM secara mutlak berarti demokrasi tersebut hanya sebatas retorika. Dengan kata lain, dengan tidak adanya kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah akan memupuskan harapan terhadap pemenuhan hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Negara seharusnya bertindak tegas dalam upaya melindungi kebebasan beragama semua kelompok berdasarkan konstitusi dan deklarasi umum PBB tentang HAM. Termasuk segera mengevaluasi dan mencabut semua peraturan yang tidak obyektif dan diskriminatif seperti SKB 2 menteri tentang pendirian rumah ibadah, perda-perda di tingkat daerah yang bias SARA dan mengoptimalkan kinerja aparat penegak hukum semisal kepolisian untuk bekerja dengan wawasan HAM.

3.1.3 Penyegelan Masjid Jemaat Ahmadiyah
      Pada Tanggal 4 April 2013, Pemerintah Kota Bekasi menyegel dan memagari Masjid Al-Misbah di jalan Terusan Pangrango Nomor 44, Jatibening, Bekasi. Tindakan Pemerintah Kota Bekasi tersebut mendapatkan perlawanan dari Jemaah Ahmadiyah Bekasi. Upaya penyegelan telah dimulai dari pukul 13.00 WIB, namun dengan dikawal 200 personil gabungan Satpol PP Kota Bekasi, Kepolisian Sektor Pondok Gede, serta beberapa personil TNI penyegelan dan pemagaran baru dilaksanakan pukul 18.30 WIB. Penyegelan itu dilakukan atas dasar Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI, Jaksa Agung RI, dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2008, Kep-033/A/JA/6/2008, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11/Munas VII/MUI/15/2005, Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011, dan Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 40 Tahun 2011 (Bab IV Pasal 4). Pada akhirnya, Jemaah Ahmadiyah hanya bisa pasrah melihat Masjidnya disegel aparat.
      Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai Tindakan Pemerintah Kota Bekasi telah bertentangan dengan UUD 1945 karena didalam  Pasal 28E ayat (1) UUD  1945 ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Selain itu, Pemerintah Kota Bekasi juga melanggar Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dimana ditegaskan bahwa “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” dengan kata lain tindakan Walikota dan Satpol PP kota Bekasi yang melakukan penyegelan dan pemagaran Masjid Al-Misbah telah bertentangan dengan  Undang-undang Dasar 1945.
      YLBHI Mengecam tindakan Walikota dan Aparat Satpol PP Kota Bekasi yang melakukan penyegelan dan pemagaran Mesjid Ahmadiyah Al- Misbah yang secara langsung melawan Konstitusi Negara dimana negara menjamin perlindungan bagi Rakyat Indonesia untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu . Tindakan yang dilakukan Aparat Pemerintah Kota Bekasi adalah suatu tindakan yang berlebihan (Extra Exercive). Aktivitas Jemaat Ahmadiyah bukanlah suatu ancaman bagi Negara yang membuat disabilitas dan disintegrasi Negara. Mereka melainkan warga negara yang mesti diayomi dan di lindungi oleh Negara dalam hal ini Pemerintah Kota Bekasi.
      Tindakan Pemerintah Kota Bekasi yang penyegelan masjid Ahmadiyah merupakan tindakan langsung (commision) kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam hal ini dalam kegiatan kebebasan untuk menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan. Semestinya, Pemerintah kota bekasi melindunggi semua warganya dari ancaman pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana di ayat   (1) ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaannya itu.”dan  di ayat (2)  ditegaskan bahwa Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agama yang masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Seharusnya Pemerintah Kota Bekasi menjadi pelindung hak masyarakat untuk beribadah HAM sehingga menciptakan hubungan yang harmoni diantara masyarakat.
      Sejak Januari 2013 hingga April 2013, tercatat 5 kasus pelanggaran terhadap hak beribadah Jemaah Ahmadiyah. 1 Kasus di Provinsi Jambi, 3 Kasus di Provinsi Jawa Barat dan 2 kasus di Jabodetabek.
YLBHI  juga Mempertanyakan kehadiran personel TNI didalam penyegelan Masjid Al-Misbah yang bertentangan dengan Tugas Pokok dan Fungsi didalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Tridarma Ekakarma berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/45/VI/2010 Tanggal 15 Juni 2010. YLBHI Mendesak Walikota Bekasi dan Seluruh Aparatur terkait, untuk  segera mencabut pagar dan segel terhadap Masjid Al-Misbah, Bekasi karena bertentangan dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika.

3.1.4 Pengusiran Jemaat Syiah
      Beberapa bulan yang lalu, banyak media yang memberitakan bahwa warga di sampang madura  yang berfaham syiah diusir oleh masyarakat sekitar. Jika berbicara mengenai hukum, jelas pengusiran tersebut sangat dilarang. Negara Indonesia adalah negara hukum, maka dari itu hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya. Berdasarkan Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali ”. Dalam pasal terdebut sangat jelas bahwa di negara ini siapapun bebas memeluk agama, sedangkan ayat (2) UUD 1945 memberikan kebebasan meyakini kepercayaan. Pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh masyarakat yang mengusir warga syiah sampang tersebut yaitu elah melanggar pasal 28 E ayat (1) dan (2) UUD 1945. Yang mana setiap orang bebas memeluk agama dan meyakini kepercayaan, serta setiap orang bebas memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali. Pengusiran tersebut berarti telah melarang warga syiah untuk berdomisili di tempat tinggal asal dan melarang untuk kembali ke tempat tinggal asalnya. Padahal jelas dalam pasal tersebut bahwa setiap orang bebas memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.

3.1.5 Eksekusi murtadin Penghujat Islam  
      Arogansi murtadin yang menabur penodaan agama menuai badai. Omega Suparno (42), seorang murtadin dari kota ukir Jepara tewas mengenaskan dieksekusi trio mujahid setelah terbukti melecehkan Islam secara provokatif. Meski terancam hukuman mati oleh hukum thaghut, trio mujahid Jepara tak gentar di jalan Allah.
      Murtadin naas warga desa Mayong Kidul, Mayong Jepara Jateng ini dieksekusi setelah melakukan penodaan agama terhadap mujahidin dengan melecehkan Al-Qur'an, Allah SWT, Nabi Muhammad dan Syariat Islam. Sedangkan trio mujahid Jepara yang mengeksekusi murtadin calon pendeta itu adalah Ustadz Amir Mahmud (29), Sony Sudarsono (29), dan Agus Suprapto (31).
      Ustadz Amir Mahmud adalah alumnus pesantren tauhid terbesar di kotanya yang sudah malang melintang di dunia jihad. Usai menamatkan pendidikan di pesantren tahun 2000, ayah seorang anak ini ditugaskan dakwah di Lombok, NTB. Tahun 2001, ketika bumi Ambon bergolak, ia terpanggil untuk berjihad selama 4,5 tahun membela kaum muslimin yang tertindas.
      Sony Sudarsono adalah mujahid yang sudah malang-melintang berjihad hingga mancanegara. Ayah dua orang anak ini pernah mengikuti pelatihan jihad di Moro Pilipina. Sedangkan Agus Suprapto, warga Semper Barat, Cililing, Jakarta Utara, adalah mujahid yang pernah bergabung bersama kafilah i’dad di Aceh bersama Abu Umar. Ayah empat orang anak ini sempat menjadi buronan Densus 88 Antiteror karena jihadnya.
      Eksekusi terhadap murtadin calon pendeta ini bermula pada bulan Oktober 2012, saat Ustadz Amir menerima pengaduan dari berbagai aktivis di Kudus, mengenai sepak terjang penginjil Omega Suparno setelah murtad meninggalkan Islam. Setelah murtad, jebolan pesantren Kudus yang sempat kuliah di IAIN Yogyakarta ini pindah kuliah ke Sekolah Tinggi Theologia Baptis Indonesia (STBI) Semarang untuk mengejar obsesi menjadi pendeta.
      Setelah data, alamat dan identitas Suparno terkumpul, Ustadz Amir berkunjung ke rumah Suparno dengan misi untuk berdialog dan mengkonfirmasi latar belakang kemurtadannya, pada Selasa sore (11/12/2012).
      Mulanya, dialog berjalan biasa saja seputar perkenalan. “Njenengan leres Mas Suparno, lulusan Ma’ahid yang pindah agama?” tanya Amir. (Apakah benar anda bernama Suparno, alumnus Ma’ahid yang sudah pindah agama?). “Inggih, leres,” jawab Suparno singkat. (Iya, benar).
      Namun agenda dialog yang direncanakan tak semulus rencana awal. Dikonfirmasi baik-baik, Suparno malah ngelunjak. Dengan provokatif, ia memaparkan bahwa imannya dalam Kristen sudah mantap dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Bahwa semua manusia hanya bisa selamat di surga bila mengimani Yesus sebagai tuhan dan juru selamat. Dosa manusia hanya bisa dibersihkan dengan tebusan kematian Yesus di ting salib, dan keselamatannya sudah dijamin 100 persen oleh Yesus.
      Untuk mempertegas kesaksiannya, Supar sapaan akrabnya mengumbar pernyataan yang mendiskreditkan Al-Qur'an.  “Al-Qur'an itu tidak ada yang benar, salah semua. Kalau di sini ada Al-Qur'an, saya injak-injak saja,” ejeknya sambil memeragakan kaki menginjak-injak lantai rumahnya.
      terkait kasus eksekusi mati murtadin penginjil Omega Suparno asal kota ukir Jepara oleh Trio Mujahid Jepara yakni Ustadz Amir Mahmud, Sony Sudarsono, dan Agus Suprapto, yang telah melecehkan Islam, Munarman SH menyatakan setuju dan hal itu satu hal yang pantas untuk dilakukan.
      Karena dalam kasus tersebut, negara tidak berperan aktif untuk mencegah orang-orang yang telah jelas menghina dan menghujat agama lain, dalam hal ini agama Islam. Menurut direktur An Nashr Institut ini, apa yang dilakukan Trio Mujahid Jepara merupakan ekspresi spontanitas untuk membela Islam.
      Pasalnya, jika melihat kronologi yang terjadi sebelumnya, eksekusi mati Trio Mujahid Jepara terhadap calon pendeta murtadin itu ada rentetan peristiwa yang mengiringinya. Yakni, sang murtadin tersebut telah terbukti dalam pandangan Islam melecehkan dan menghina simbol agama Islam. Bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap Islam yang diajarkan oleh murtadin penginjil itu antara lain bahwa Allah itu sebenarnya tidak ada dan baru diadakan sejak adanya bangsa Arab, Al-Qur'an itu salah semua dan layak untuk injak-injak, Nabi Muhammad itu tidak boleh dikultuskan karena kenabiannya setara dengan gelar kiyai di Jawa dan sebagainya.
      “Yaa, bagus itu. Karena disitu negara tidak berperan dan orang-orang yang seperti itu biar kapok (untuk tidak menghina Islam lagi),” kata Munarman kepada voa-islam.com sebelum mengisi talk show “Membongkar Diskriminasi HAM Terhadap Umat Islam” di masjid Baitul Makmur Solo Baru, Sukoharjo pada Ahad (23/6/2013).
      Salah satu pimpinan pusat Front Pembela Islam (FPI) ini menghimbau para pendeta dan penginjil agar lebih berhati-hati kembali di kemudian hari. Jangan sampai umat Islam terusik dan kemudian merespokan tindakan provokatif seperti itu.Hal itu biar menjadi pelajaran dan peringatan bagi para pendeta. Karena jika Islam dihina dan dilecehkan, umat Islam tidak akan tinggal diam.
      Khalifah menyatakan kasus eksekusi mati murtadin penginjil di Jepara juga harus betul-betul menjadi pelajaran dan peringatan bagi para pendeta dalam menyampaikan ajarannya jangan sampai menyinggung unsur SARA. Ia menambah, jangan sampai kasus seperti itu terulang kembali dan umat Islam yang dipersalahkan. Karena jika terulang kembali hujatan-hujatan dan bentuk pelecehan lainnya terhadap simbol agama Islam dalam bentuk apapun, maka umat Islam takkan diam saja.

3.2 Memeluk Agama merupakan HAM yang Hakiki
    
     Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki oleh seseorang yang telah diberikan oleh tuhan yang maha esa kepada makhluknya (manusia) sejak dalam kandungan yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Ciri-ciri Hak Asasi Manusia yaitu yang pertama bersifat Hakiki yang artinya HAM sudah ada sejak manusia lahir, yang kedua bersifat universal yaitu HAM berlaku umum untuk dan mengenai semua orang, di mana saja dan kapan saja, tanpa memandang jenis kelamin dan kondisi psikosomatis, ras, agama, suku bangsa, negara, pandangan hidup, dan pandangan politik, yang ketiga kepemilikannya bersifat kodrati, dan karena itu spiritual. Maksudnya, HAM itu inheren dalam kodrat kemanusiaan kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sejak kita diciptakan dan dilahirkan, dan karena itu hak-hak asasi itu dipandang sebagai karunia pemberian Sang Pencipta. Ciri kodrati dan spiritual ini tampak dalam kenyataan bahwa manusia tidak bisa menjalani kehidupannya sebagaimana layaknya tanpa hak-hak itu, dan dengan hak-hak itu manusia dapat lebih memuliakan Tuhan Sang Penciptanya. Karena bersifat kodrati, HAM tidak dapat diserahkan pada pihak lain dan tidak dapat dibagi-bagi. yang keempat bersifat supralegal dan menuntut dengan keras pemenuhannya dari pihak lain, termasuk negara. Maksudnya, hak-hak asasi tidak pernah boleh dan tidak pernah bisa dilanggar, diperkosa, dibatasi dan ditiadakan/dihapus oleh pihak mana pun termasuk Negara.     
     Hak memeluk agama dan beribadah, adalah salah satu Hak Asasi Manusia. Hak ini sudah ada sejak manusia lahir, jadi memeluk agama adalah Hak Asasi manusia yang hakiki. Indonesia adalah negara yang berdasarkan pancasila yang mana di dalamnya berisi mengenai ketuhanan yang maha esa, yang berarti setiap warga negara indonesia wajib memeluk satu agama yaitu agama yang diakui oleh pemerintah dan memilih sesuai dengan keyakinan yang dipercayai oleh seseorang itu sendiri. Namun sudah tidak jarang kita temui pelanggaran HAM mengenai kebebasan memeluk agama seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini ada film yang membahas tentang Nabi Muhammad yang isi dari film itu menceritakan tentang keburukan Nabi Muhammad yang pada kenyataannnya itu tidak benar dan tidak bisa di buktikan, film ini sangat memberikan pengaruh negatif terhadap  pemeluk umat islam seluruh dunia dan penduduk di indonesia menanggapi hal ini dengan berbagai tindakan seperti demo besar-besaran yang berakibat merugikan. Dan di Indonesia juga sering terjadi kasus yaitu muncul nabi baru dan banyaknya agama yang muncul yang berasaskan agama islam, bentuk seperti ini yang menghancurkan keyakinan pemeluk agama islam terganggu atau merasa bimbang terhadap agama yang dipercayai itu, dan ini merupakan bentuk pelanggaran HAM mengenai kebebasan beragama, padahal sudah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dan inilah faktor yang paling jelas bahwa kebebasan beragama telah diberikan pemerintah dan telah dijamin pemerintah tentang kebebasan beragama. Di indonesia pemerintah sudah menetapkan agama-agama apa saja yang boleh dianut oleh warga negara indonesia. Oleh karena itu Agama-agama yang tidak diakui pemerintah dianggap pelanggaran HAM terhadap keyakinan beragama dan termasuk melanggar pasal-pasal perlindungan terhadap keyakinan beragama.

3.3 Kebebasan Memeluk Agama
    
     Adakah kebebasan yang benar-benar bebas tanpa batas? Bukankah kebebasan seseorang atau sekelompok orang, sesungguhnya akan menjadi pembatas dari kebebasan orang lain atau kelompok lainnya. Dalam bahasa logika yang lain, kebebasan seseorang atau sekelompok orang pada saat bersamaan sesungguhnya telah merampas kebebasan orang lain atau kelompok yang lainnya. Kebebasan beragama adalah kebebasan untuk menentukan pilihan memeluk suatu agama yang diyakini. Kebebasan ini merupakan hak asasi setiap manusia yang dilindungi oleh undang-undang.      Kebebasan beragama juga dapat bermakna bebas membentuk agama baru. Ketika seseorang bebas memeluk suatu agama, sesungguhnya ia tidak lagi bebas, karena akan terikat dengan ketentuan agama yang dipeluk dan diyakininya. Demikian juga, ketika sekelompok orang membuat suatu agama baru, sebagai “produk baru keyakinannya,” maka saat itu juga sesungguhnya mereka tidak lagi memiliki kebebasan, karena setiap produk keyakinan harus teruji oleh publik dengan syarat-syarat rasional atau juga mungkin irasional yang diyakini. Intinya tidak ada kebebasan beragama yang “sebebas-bebas”nya.
     Fakta keberagamaan juga menunjukkan, bahwa di negara-negara yang diklaim sebagai negara bebas, seperti beberapa negara di Eropa dan Barat, aliran-aliran atau sekte-sekte tertentu juga terlarang bahkan tak jarang mengalami tindak kekerasan oleh penganut agama lainnya, ditangkap dan diadili dengan alasan mengganggu ketertiban umum atau mengancam keselamatan dan ketenangan publik. Kebebasan beribadah, adalah hak bagi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan kewajiban agamanya sesuai dengan keyakinannya. Melaksanakan ibadah sesuai tuntunan agama yang dianut juga sekaligus menjadi kewajiban para pemeluknya sebagai cermin ketundukan, ketaatan dan loyalitas keberagamaan seseorang terhadap agama yang diyakininya. Adakah kebebasan beribadah bermakna kebebasan sebebas-bebasnya (tanpa batas) untuk melaksanakan ibadah menurut keyakinan setiap penganut agama? Faktanya tidaklah mungkin. Penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang kemudian menjadi dasar penetapan Pembukaan UUD-1945 adalah bukti historis yang sangat kuat untuk menjawab pertanyaan di atas.
     Sepanjang sejarah umat manusia, tidak ada manusia yang hidup bebas tanpa terikat oleh aturan, termasuk pada masyarakat primitif sekalipun. Semakin modern kehidupan masyarakat, semakin banyak aturan yang mengikatnya. Lebih lagi dalam kehidupan beragama. Aturan itulah yang akan memberikan perlindungan atas hak-hak umat beragama. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana melaksanakan aturan itu secara konsisten. Mau bersedia dan bertenggangrasa untuk hidup dengan orang yang berbeda agama atau beda keyakinan.



BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
           
            HAM merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak memeluk agama dan beribadah, adalah salah satu Hak Asasi Manusia. Hak ini sudah ada sejak manusia lahir, jadi memeluk agama adalah Hak Asasi manusia yang hakiki.    
             

4.2 Saran

1.      Sebaiknya Pemerintah lebih memperhatikan kerukunan dan toleransi antar umat beragama agar tidak terjadi konflik antar pemeluk agama yang bisa mengancam stabilitas nasional.
Seharusnya pemerintah menggalakkan kepada masyarakat tentang toleransi, dan tenggang rasa antar umat beragama agar tidak terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah.

No comments:

Post a Comment