A.
Pemberian
Imunisaasi Hepatitis B
Imunisasi
Hepatitis B bermanfaat untuk mencegah infeksi. Hepatitis B terhadap bayi,
terutama jalur penularan ibu-bayi. Terdapat 2 jadwal pemberian imunisaasi
hepatitis B. Jadwal pertama, hepatitis B sebanyak 3 kali, yaitu pada usia 0
(segera setelah bayi lahir menggunakan uniject),
1 dan 6 bulan. Jadwal kedua, imunisasi hepatitis B sebanyak 4 kali, yaitu pada
usia 0 dan DPT + Hepatitis B pada 2, 3 dan 4 bulan usia bayi.
Imunisasi
|
Jumlah Pemberian
|
Jadwal
|
Regimen Tunggal
|
3 kali
|
1. Usia 0
bulan (segera setelah bayi lahir)
2. Usia 1 bulan
3. Usia 6 bulan
|
Regimen Kombinasi
|
4 kali
|
Usia 0 bulan
(segera setelah lahir)
Usia 2 bulan
(DPT + Hepatitis B)
Usia 3 bulan
(DPT + Hepatitis B)
Usia 4 bulan
(DPT + Hepatitis B)
|
1. Kontraindikasi
Belum dipastikan adanya
kontraindikasi absolut terhadap pemberian imunisasi hepatitis B, kecuali pada
ibu hamil.
2. Hiporesponder
dan nonresponder
Tanggap kebal yang rendah
pascaimunisasi dapat disebabkan oleh hal-hal berikut : Usia tua, pemberian
vaksinasi didaerah bokong, pada anak yang gemuk, pasien
hemodialisis/transplantasi, pasien yang mendapat obat-obatan imunosupresif,
pasien leukemia dan penyakit keganasan lain, pasien DM dengan insulin
dependent, infeksi HIV, pecandu alkohol
B.
Vaksin
BCG
1. Bacille
Calmette-Guerin)
Tuberkulosis disebabkan oleh
bakteri mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium bovis. Tuberkulosis paling
sering menyerang paru-paru, tetapi dapat juga menyerang organ-organ lainnya
seperti selaput otak, tulang, kelenjar superfisialis dan lain-lain.
Mycobacterium tuberculosis tidak selalu menjadi sakit tuberculosis aktif.
Respons imunitas seluler terjadi beberapa minggu (2-12 minggu) setelah
terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosis yang dapat ditunjukkan dengan uji
tuberculin.
Bacille Calmette-Guerin adalah
vaksin hidup yang dibuat dari mycobacterium bovis yang dibiakkan berulang
selama 1-3 tahun, sehingga didapat hasil yang tidak virulen tetapi masih
mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG menimbulkan sensitivitas terhadap
tuberculin.
Vaksin BCG berisi suspensi
mycobacterium bovis hidup yang sudah dilemahkan. Vaksinasi BCG tidak mencegah
infeksi tuberculosis, tetapi mengurangi risiko tuberculosis berat, seperti
meningitis tuberkulosa dan tuberculosis millier. Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan.
Efek proteksi bervariasi antara 0-80%. Hal ini tergantung lingkkungan dengan
mycobacterium atipik atau factor penjamu (umur, keadaan gizi, dan lain-lain).
Vaksin BCG
diberikan secara intradermal/ intrakutan 0,10 ml untuk anak dan 0,05 ml untuk
bayi baru lahir. Penyuntikan imunisasi BCG ini sebaiknya diberikan pada deltoid
kanan (lengan kanan atas), sehingga bila terjadi limfadentis (pada aksila) akan
lebih mudah terdeteksi. Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, tidak
boleh beku, dan harus disimpan pada suhu 2-8oC. Vaksin yang telah
diencerkan harus dibuang dalam 8 jam. Imunisasi BCG diberikan pada anak ketika
berumur ≤ 2 bulan dan sebaiknya dilakukan uji mantoux (tuberculin) terlebih
dahulu (imunisasi bias diberikan bjika uji mantoux negative).
Penyuntikan
BCG intradermal yang benar akan menimbulkan ulkus local superficial di 3 minggu
setelah penyuntikan. Ulkus yang biasanya tertutup krusta akan sembuh 2-3 bulan
dan menninggalkan parut b ulat dengan diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu
tinggi, maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu
dalam, maka parut akan tertarik ke dalam (retracted). Limfadenitis supuratif di
aksila atau leher terkadang dijumpai. Hal ini tergantung pada umur anak, dosis,
dan galur (strain) yang dipakai. Limfadenitis akan sembuh dengan sendirinya,
jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul
fistula, maka dapat dibersihkan dengan melakukan drainase dan diberikan obat
antituberkulosis oral. Tidak perlu memberikan antituberkulosis oral. Tidak
perlu memberikan antituberkulosis sistemik karena hasilnya tidak efektif.
BCG-it is
desiminasi jarang terjadi, biasanya berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus
vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi ini harus
diobati dengan kombinasi obat antituberkulosis.
2. Kontraindikasi
a. Reaksi
uji tuberculin > 5 mm
b. Terinfeksi
HIV atau dengan resiko tinggi HIV, imunokompromais akibat pengobatan
kortikosteroid, obat imunosupresif, sedang menjadi terapi radiasi, serta
menderita penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau system limfe.
c. Anak
menderita gizi buruk
d. Anak
menderita demam tinggi
e.
Anak
menderita infeksi kulit yang luas
f. Anak
pernah menderita tuberculosis
g. Kehamilan
3. Rekomendasi
a.
Imunisasi
BCG diberikan pada saat usia ≤ 2 bulan
b.
Pada
bayi yang kontak erat dengan penderita TB, dan melalui pemeriksaan sputum
didapati BTA (+3) maka sebaiknya diberikan INH profilaksis terlebih dahulu dan
jika kontak sudah tenang dapat diberi BCG
c.
Jangan
melakukan imunisasi BCG pada bayi atau anak imunodefisiensi, misalnya HIV,
gizi buruk dan lain-lain.
C.
DIFTERI,
PERTUSIS DAN TETANUS
1.
Difteri
Difteri adalah suatu penyakit akut
yang bersifat toxin-mediated diseasse dan disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini
berasal dari bahasa yunani, diphtera
yang berarti leather hide. Diphteriae adalah suatu basil graam
poitif. Produksi toksin terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenasi
oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetic toksin. Hanya galur toksigenik
yang dapat menyebabkan penyakit berat. Saat ini ditemukan 3 galur bakteri,
yaitu gravis, intermedius, dan mitis
yang kesemuanya dapat memproduksi toksin, namun jenis gravis yang paling
virulen. Semua kuman C, diphteriae
yang ditemukan dalam suatu biakan harus dinyatakan toksigenitasnya dengan
menentukan galurnya.
Seorang anak dapat terinfeksi basil
difteri pada nasofaringnya dan kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin
yang menghambat sistensi protein seluler sehingga menyebabkan destruksi jaringan
setempat lalu terjadilah suatu keadaan dimana selaput/membrane menyumbat jalan
nafas. Toksin yang terbentuk di membrane tersebut kemudian diabsorpsi ke dalam
aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat
komplikasi berupa miokarditis dan neuritis, serta trombositopenia dan
proteinuria.
Untuk
imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2,4,6, 15-18
bulan dan saat masuk sekolah. Dosis
ke empat harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3.
Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap pemberian vaksin
pertusis. Vaksin DPT disimpan
pada suhu 2-8oC dan cara pemberiannya melalui suntikan
intramuscular/subcutan.
Toksoid
difteri secara khusus sulit dibuktikan karena selama ini pemberiannya selalu
digabung dengan toksoid tetanus dan atau tanpa vaksin pertusis. Beberapa
laporan menyebutkan bahwa reaksi local akibat pemberian vaksin DT sering
ditemukan lebih banyak dibandingkan pemberian tetanus toksoid saja. Namun
kejadian tersebut sangat ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian
ikutan yang berat. Untuk menekan kejadian ikutan akibat hiperaktivitas terhadap
toksoid difteri, telah dilakukan beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas
toksoid tersebut yaitu dengan beberapa cara berikut: meningkatkan kemurnian
toksoid dengan menghilangkan protein yang tidak perlu, menyerapkan toksoid ke
dalam garam aluminium, mengurangi jumlah toksoid per inokulasi menjadi 1-2 Lf
yang dianggap cukup efektif untuk mendapatkan imunitas.
1. Efek
Samping
a. Kebanyakan
anak menderita panas pada sore pada sore hari setelah mendapat vaksinasi DPT,
tetapi panas akan sembuh dalam 1-2 hari. Bila panas yang timbul lebih dari 1
hari sesudah pemberian DPT, maka itu bukanlah disebabkan vaksin DPT, mungkin
ada infeksi lain yang perlu diteliti lebih lanjut. Berikan 1 tablet antipiretik
kepada ibu untuk mengatasi efek samping tersebut dan katakana bahwa bila anak
panas lebih tinggi dari 39oC, maka anak perlu diberi ¼ tablet yang
dihancurkan dengan sedikit air. Anjurkan ibu untuk tidak membungkus anak dengan
baju tebal dan mandikan anak dengan cara sibin (membasuh tubuh dengan waslap
tanpa disabuni)
b. Sebagian
anak merasakan nyeri, sakit, kemerahan, dan bengkak di tempat suntikan. Hal ini
perlu diberitahukan kepada ibu sesudah vaksinasi, serta yakinkan ibu bahwa
keadaan itu berbahaya dan tidak perlu pengobatan
c. Bila
pembengkakan sakit terjadi seminggu atau lebih sesudah vaksinasi, maka hal ini
mungkin disebabkan oleh peradangan yang mungkin diakibatkan oleh jarum suntik
tidak steril, penyuntikan kurang dalam
d. Kejang-kejang
merupakan reaksi yang terjadi, tetapi perlu diketahui petugas. Reaksi ini
disebabkan oleh komponen pertusis dari DPT. Oleh karena efek samping ini cukup
berat, maka anak yang pernah mendapat reaksi ini tidak boleh diberi vaksin DPT
lagi dan sebagai gantinya diberi DT saja
2.
Pertusis
Pertusis atau batuk rejan/batuk
seratus hari adalah suatu penyait akut yang disebabkan oleh bakteri Borditella Pertusis. Sebelum ditemukan
vaksin pertusis, penyakit ini merupakan penyakit tersering yang menyerang
anak-anak dan merupakan penyebab utama kematian.
Borditella
pertusis adalah kuman batang yang bersifat gram
negative dan membutuhkan media khusus untuk isolasinya. Kuman ini menghasilkan
beberapa antigen antara lain toksin pertusis, filament hemaglutinin,
aglutinogen fimbriae, adenil siklase, endotoksin dan sitotoksin trakea.
Produk-produk ini berperan dalam terjadinya gejala penyakit pertusis dan kekebalan
terhadap salah satu atau lebih komponen ini akan menyebabkan serangan penyakit
yang ringan. Pertusis merupakan penyakit yang bersifat toxin mediated dan toksin yang dihasilkan kuman yang melekat pada
bulu getar saluran nafas atas akan melumpuhkan bulu getar tersebut hingga
menyebabkan gangguan aliran secret saluran nafas dan berpotensi menyebabkan
pneumonia. Gejala pertusis timbul saat terjadinya penumpukan lendir dalam
saluran pernafasan akibat kegagalan aliran oleh bulu getar yang lumpuh dan
berakibat pada terjadinya batuk paroksimal tanpa inspirasi yang diakhiri dengan
bunyi whoop. Pada serangan seperti
ini, pasien biasanya akan muntah dan sianosis yang membuat pasien menjadi
sangat lemas dan tegang. Keadaan ini dapat berlanjut antara 1 sampai 10 minggu.
Pada bayi di bawah 6 bulan juga dapat menderita batuk seperti ini namun
biasanya tanpa disertai suara whoop.
Antibodi terhadap kuman pertusis
dan hemaglutinintelah dapat ditemukan dalam serum neonatus dalam konsentrasi
yang sama dengan ibunya dan akan menghilang dalam 4 bulan. Vaksin pertusis whole cell adalah vaksin yang merupakan
suspensi kuman B. pertusis mati. Umumnya vaksin pertusis dengan menggunakan
fraksi sel memberikan reaksi local dan demam yang lebih ringan disbanding
dengan whole cell.
Dampak dari pertusis diantaranya
kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi. Terkadang juga ditemukan
demam ringan dan hiperpireksia.
1. Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak terhadap
pemberian vaksin pertusis, baik whole
cell maupun aseluler yaitu riwayat anafilaksis dan enosefalopati pascavaksinasi
pertusis sebelumnnya. Bila pada pemb erian awal dijumpai riwayat hiperpireksia,
hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam
dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudahnya.
3.
Tetanus
Tetanus adalah suatu penyakit akut
yang bersifat fatal, dotal, disebabkan oleh eksotoksin kuman clostridium tetani. Kuman ini berbentuk
batanag, bersifat gram positif dan bermetabolisme anaerob, yang mampu
menghasilkan spora dalam bentuk drumstick.
Kuman ini sensitive terhadap suhu panas dan tidak bias hidup dalam lingkungan
beroksigen. Sebaliknya spora tetanus sangat tahan panas, dan kebal terhadap
antiseptic. Spora ini dapat tetap hidup dalam autoclave bersuhu 121 derajat
Celsius seslama 10 sampai 15 menit. Kuman ini dapat tersebar dalam kotoran,
debu jalanan, usus dan feses kuda, domba, anjing, kucing, tikus dan lainnya.
Kuman ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dan dalam suasana anaerob,
kemudian memproduksi toksin (tetanuspasmin), lalu disebarkan melalui darah dan
limfa. Toksin ini kemudian
akan menempel apada reseptor di system saraf. Gejala utama penyakit ini timbul
akibat toksin tetanus yang mempengaruhi pelepasan neurodrasmiter yang berakibat
penghambatan implusinhibisi, sehingga terjadi kontraksi sehingga terjadi
spastisitas otot yang terkontrol, kejang-kejang, dan gangguan saraf ototnom.
Tetanus selain
dapat ditemukan pada anak-anak, juga dijumpai kasus tetanus neonatorum yang
cukup fatal. Komplikasi yang sering terjadi antara lain, laringospasme, infeksi
nosokomial, dan pneumonia ortostastik. Pada anak yang lebih besar sering
terjadi hiperpireksia yang juga merupakan tanda tetanus berat. Perawatan luka merupakan pencegahan utama pada tetanus,
di samping imunisasi tetanus, baik aktif maupun pasif.
Toksoid Tetanus yang diperlukan untuk imunissasi sebesar 40 IU dalam setiap dosis tunggal
dan 60 IU bila bersama dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis. Sebagaimana
toksoid lainnya, toksoid tetanus ini memerlukan pemberian bertahap untuk meningkatkan
efektifitas dan mempertahankan imunitas. Tidak perlu pengulangan dosis bila
jadwal pemberian terlambat. Ibu yang mendapat toksoid tetanus 2 atau 3 dosis
ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir terhadap
tetanus neonatorum. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 IU/ml pada ibu cukup untuk
memberikan proteksi terhadap bayi.
Untuk vaksin
TT dosis yang diberikan adalah 0,5 ml dan disuntikkan intramuscular/subcutan di
otot deltoid, paha dan bokong.
D.
Poliomielitis
Kata polio (abu-abu) dan myelon
(sumsum), berasal dari bahasa latin yang berarti medulla spinalis. Penyakit ini
disebabkan oleh virus poliomyelitis pada medulla spinalis yang secara klasik
menimbulkan kelumpuhan.
Virus polio termasuk dalam kelompok
(subgroup) enterovirus, famili picomaviridae. Virus polio dibagi menjadi 3
macam serotype yaitu P1, P2, dan P3. Virus polio ini menjadi tidak aktif apabila terkena panas, formaldehida, dan
sinar ultraviolet.
Virus polio menyebar dari orang ke
orang melalui jalur oro-fekal dan pada beberapa kasus dapat berlangsung secara
ora-oral. Infeksi virus mencapai puncak pada musim panas, sedangkan pada daerah
tropis tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi. Virus polio sangat
infeksius sejak 7 sampai 10 hari sebelum dan setelah timbulnya gejala, tetapi
virus polio dapat ditemukan dalam feses sejak 3 sampai 6 minggu.
Virus polio masuk melalui mulut dan
multiplikasi pertama kali terjadi pada tempat implantasi, yaitu di dalam faring
dan traktus gastrointestinal. Virus tersebut umumnya ditemukan di tenggorokan
dan feses sebelum timbulnya gejala satu minggu setelah timbulnya penyakit,
virus dalam jumlah kecil akan menetap di tenggorokan, tetapi virus tersebut
terus menerus dikeluarkan bersama feses dalam beberapa minggu. Virus menembus
jaringan limfoid setempat, masuk dalam pembuluh darah kemudian masuk system
saaraf pusat. Aplikasi virus polio yang teerjadi dalam neuron motor kornu
anterior medulla spinalis dan batang otak mengakibatkan kerusakan sel dan
menyebabkan poliomielitis yang spesifik.
Masa inkubasi poliomyelitis umumnya
berlangsung dala 6-20 hari dengan kisaran 3-35 hari.
1. Meningitis
Aseptik Nonparalisis
Anak menjadi iritabel, peka saraf
meningkat, ada gejala kaku kuduk, serta kaku punggung dan kaki yang berlangsung
antara 2-10 hari dan akan sembuh sempurna.
2. Paralisis
flaksid atau Lumpuh Layu
Gejala kelayuan umumnya mulai 1-10
hari setelah gejala prodormal dan berlangsung selam 2-3 hari. Polio spinal sering menyerang tungkai bawah,
Polio bulbar mengakibatkan kelumpuhan otot-otot yang dipengaruhi oleh saraf
cranial. Polio bulbospinal kombinas dari polio bulbar dan spinal.
Rekomendasi untuk vaksin ini adalah
:
1.
imunisasi
primer pada bayi dan anak
2.
Vaksin
polio oral diberikan pada BBL sebagai dosis awal. Kemudian diteruskan dengan
imunissaasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang diberikan 3 dosis terpisah
berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu. Satu dosis sebanyak 2 tetes
(0,1ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan yang pemberiannya dapat
diberikan bersamaan dengan suntikan vaksin PT dan hepatitis B. Bila OPV yang
diberikan dimuntahkan 10 menit, maka dosis tersebut perlu diulang.
3.
Pemberian
ASI tidak berpengaruh pada respons antibody terhadapa OPV dan imunisasi tidak
boleh ditunda. Anak-anak dengan
imunosupresi dan mereka yang kontak dekat dengan penderita harus imunisasi
4.
Anak
yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan eskresi virus vaksin selama
6 minggu dan akan melakukan infeksi pada kontak yang belum diimunisasi
5.
Anak
yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan ekskresi virus vaksin selama
6 minggu dan akan melakukan infeksi pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk
mereka yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru saja diberi OPV,
dihimbau untuk menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti
popok.
E.
Campak
Virus dalam droplet masuk melalui
pernapasan dan selanjutnya masuk kelenjar getah bening yang berada di bawah
mukosa, di tempat ini virus memperbanyak diri kemudian menyebar ke sel-sel jari
ngan limforetikuler seperti limpa. Sel monokuler yang terinfeksi membentuk sel
berinti raksasa yang disebut sel warthin, sedangkan sel T limfosit meliputi
kelompok penekan dan penolong yang rentan terhadap infeksi, aktif membelah.
Pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah infeksi awal, focus infeksi terwujud, yaitu
ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel
orofaring, konjungtiva, saluran pernapasan, kulit, kandung kemih, dan saluran
usus. Selanjutnyaa pada hari ke – 9 sampai dengan ke -10 fokus infeksi berada
di epitel salluran nafas. Pada
saat itu muncul gejala coriza (pilek) diserta dengan peradangan selaput
konjungtiva yang tampak merah. Pasien tampak lemah disertai suhu tubbuh yang
meningkat, lalu pasien tampak sakit berat sampai munculnya ruam kulit. Pada
hari ke-11 tampak pada mukosa pipi suatu ulser kecil (bintik koplik) yang
merupakan tempat virus tumbuh selanjutnya mati. Kondisi ini merupakan tanda
pasti untuk menegakkan diagnostic. Akhirnya mmuncul ruam makulopapular di hari
ke-14 sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibody humoral dapat dideteksi
dan selanjutnya suhu tubuh menurun.
Diagnosa kasus
campak biasanya dapat dibuat atas dasar gejala klinik yang saling berkaitan,
yaitu coriza dan mata meradang disertai batuk dan demam yang tinggi dalam
beberapa hari lalu diikuti timbulnya ruam makulopapular pada kulit yang
memiliki ciri khas.
Dosis baku
minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000 TCID atau
sebanyak 0,5 ml. Untuk vaksin hidup, pemberian 20 TCID saja mungkin sudah dapat
memberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan melalui subcutan walaupun
demikian dapat juga diberikan secara intramuscular. Daya proteksi vaksin campak
diukur berbagai cara. Salah satu indicator pengaruh vaksin terhadap proteksi
adalah penurunan angka kejadian kasus campak ssesudah pelaksanaannya program
imunisasi. Dianjurkan pemberian imunisasi campak pada bayi berumur 9 bulan.
No comments:
Post a Comment