truth


counters

nama

Sunday 17 January 2016

ASKEB NEONATUS: IMUNISASI

A.    Pemberian Imunisaasi Hepatitis B
Imunisasi Hepatitis B bermanfaat untuk mencegah infeksi. Hepatitis B terhadap bayi, terutama jalur penularan ibu-bayi. Terdapat 2 jadwal pemberian imunisaasi hepatitis B. Jadwal pertama, hepatitis B sebanyak 3 kali, yaitu pada usia 0 (segera setelah bayi lahir menggunakan uniject), 1 dan 6 bulan. Jadwal kedua, imunisasi hepatitis B sebanyak 4 kali, yaitu pada usia 0 dan DPT + Hepatitis B pada 2, 3 dan 4 bulan usia bayi.
Imunisasi
Jumlah Pemberian
Jadwal
Regimen Tunggal
3 kali
1. Usia 0 bulan (segera setelah bayi lahir)
2.  Usia 1 bulan
3.  Usia 6 bulan
Regimen Kombinasi
4 kali
Usia 0 bulan (segera setelah lahir)
Usia 2 bulan (DPT + Hepatitis B)
Usia 3 bulan (DPT + Hepatitis B)
Usia 4 bulan (DPT + Hepatitis B)




1.      Kontraindikasi
Belum dipastikan adanya kontraindikasi absolut terhadap pemberian imunisasi hepatitis B, kecuali pada ibu hamil.
2.      Hiporesponder dan nonresponder
Tanggap kebal yang rendah pascaimunisasi dapat disebabkan oleh hal-hal berikut : Usia tua, pemberian vaksinasi didaerah bokong, pada anak yang gemuk, pasien hemodialisis/transplantasi, pasien yang mendapat obat-obatan imunosupresif, pasien leukemia dan penyakit keganasan lain, pasien DM dengan insulin dependent, infeksi HIV, pecandu alkohol
B.     Vaksin BCG
1.      Bacille Calmette-Guerin)
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium bovis. Tuberkulosis paling sering menyerang paru-paru, tetapi dapat juga menyerang organ-organ lainnya seperti selaput otak, tulang, kelenjar superfisialis dan lain-lain. Mycobacterium tuberculosis tidak selalu menjadi sakit tuberculosis aktif. Respons imunitas seluler terjadi beberapa minggu (2-12 minggu) setelah terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosis yang dapat ditunjukkan dengan uji tuberculin.
Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari mycobacterium bovis yang dibiakkan berulang selama 1-3 tahun, sehingga didapat hasil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG menimbulkan sensitivitas terhadap tuberculin.
Vaksin BCG berisi suspensi mycobacterium bovis hidup yang sudah dilemahkan. Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberculosis, tetapi mengurangi risiko tuberculosis berat, seperti meningitis tuberkulosa dan tuberculosis millier. Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0-80%. Hal ini tergantung lingkkungan dengan mycobacterium atipik atau factor penjamu (umur, keadaan gizi, dan lain-lain).
Vaksin BCG diberikan secara intradermal/ intrakutan 0,10 ml untuk anak dan 0,05 ml untuk bayi baru lahir. Penyuntikan imunisasi BCG ini sebaiknya diberikan pada deltoid kanan (lengan kanan atas), sehingga bila terjadi limfadentis (pada aksila) akan lebih mudah terdeteksi. Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, tidak boleh beku, dan harus disimpan pada suhu 2-8oC. Vaksin yang telah diencerkan harus dibuang dalam 8 jam. Imunisasi BCG diberikan pada anak ketika berumur ≤ 2 bulan dan sebaiknya dilakukan uji mantoux (tuberculin) terlebih dahulu (imunisasi bias diberikan bjika uji mantoux negative).
Penyuntikan BCG intradermal yang benar akan menimbulkan ulkus local superficial di 3 minggu setelah penyuntikan. Ulkus yang biasanya tertutup krusta akan sembuh 2-3 bulan dan menninggalkan parut b ulat dengan diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu tinggi, maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam, maka parut akan tertarik ke dalam (retracted). Limfadenitis supuratif di aksila atau leher terkadang dijumpai. Hal ini tergantung pada umur anak, dosis, dan galur (strain) yang dipakai. Limfadenitis akan sembuh dengan sendirinya, jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula, maka dapat dibersihkan dengan melakukan drainase dan diberikan obat antituberkulosis oral. Tidak perlu memberikan antituberkulosis oral. Tidak perlu memberikan antituberkulosis sistemik karena hasilnya tidak efektif.
BCG-it is desiminasi jarang terjadi, biasanya berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi ini harus diobati dengan kombinasi obat antituberkulosis.



2.      Kontraindikasi
a.       Reaksi uji tuberculin > 5 mm
b.      Terinfeksi HIV atau dengan resiko tinggi HIV, imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat imunosupresif, sedang menjadi terapi radiasi, serta menderita penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau system limfe.
c.       Anak menderita gizi buruk
d.      Anak menderita demam tinggi
e.       Anak menderita infeksi kulit yang luas
f.       Anak pernah menderita tuberculosis
g.      Kehamilan
3.      Rekomendasi
a.       Imunisasi BCG diberikan pada saat usia ≤ 2 bulan
b.      Pada bayi yang kontak erat dengan penderita TB, dan melalui pemeriksaan sputum didapati BTA (+3) maka sebaiknya diberikan INH profilaksis terlebih dahulu dan jika kontak sudah tenang dapat diberi BCG
c.       Jangan melakukan imunisasi BCG pada bayi atau anak imunodefisiensi, misalnya HIV, gizi  buruk dan lain-lain.
C.    DIFTERI, PERTUSIS DAN TETANUS
1.      Difteri
Difteri adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated diseasse dan disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini berasal dari bahasa yunani, diphtera yang berarti leather hide. Diphteriae adalah suatu basil graam poitif. Produksi toksin terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetic toksin. Hanya galur toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat. Saat ini ditemukan 3 galur bakteri, yaitu gravis, intermedius, dan mitis yang kesemuanya dapat memproduksi toksin, namun jenis gravis yang paling virulen. Semua kuman C, diphteriae yang ditemukan dalam suatu biakan harus dinyatakan toksigenitasnya dengan menentukan galurnya.
Seorang anak dapat terinfeksi basil difteri pada nasofaringnya dan kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin yang menghambat sistensi protein seluler sehingga menyebabkan destruksi jaringan setempat lalu terjadilah suatu keadaan dimana selaput/membrane menyumbat jalan nafas. Toksin yang terbentuk di membrane tersebut kemudian diabsorpsi ke dalam aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat komplikasi berupa miokarditis dan neuritis, serta trombositopenia dan proteinuria.
Untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2,4,6, 15-18 bulan dan saat masuk sekolah. Dosis ke empat harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis. Vaksin DPT disimpan pada suhu 2-8oC dan cara pemberiannya melalui suntikan intramuscular/subcutan.
Toksoid difteri secara khusus sulit dibuktikan karena selama ini pemberiannya selalu digabung dengan toksoid tetanus dan atau tanpa vaksin pertusis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa reaksi local akibat pemberian vaksin DT sering ditemukan lebih banyak dibandingkan pemberian tetanus toksoid saja. Namun kejadian tersebut sangat ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan yang berat. Untuk menekan kejadian ikutan akibat hiperaktivitas terhadap toksoid difteri, telah dilakukan beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas toksoid tersebut yaitu dengan beberapa cara berikut: meningkatkan kemurnian toksoid dengan menghilangkan protein yang tidak perlu, menyerapkan toksoid ke dalam garam aluminium, mengurangi jumlah toksoid per inokulasi menjadi 1-2 Lf yang dianggap cukup efektif untuk mendapatkan imunitas.
1.      Efek Samping
a.       Kebanyakan anak menderita panas pada sore pada sore hari setelah mendapat vaksinasi DPT, tetapi panas akan sembuh dalam 1-2 hari. Bila panas yang timbul lebih dari 1 hari sesudah pemberian DPT, maka itu bukanlah disebabkan vaksin DPT, mungkin ada infeksi lain yang perlu diteliti lebih lanjut. Berikan 1 tablet antipiretik kepada ibu untuk mengatasi efek samping tersebut dan katakana bahwa bila anak panas lebih tinggi dari 39oC, maka anak perlu diberi ¼ tablet yang dihancurkan dengan sedikit air. Anjurkan ibu untuk tidak membungkus anak dengan baju tebal dan mandikan anak dengan cara sibin (membasuh tubuh dengan waslap tanpa disabuni)
b.      Sebagian anak merasakan nyeri, sakit, kemerahan, dan bengkak di tempat suntikan. Hal ini perlu diberitahukan kepada ibu sesudah vaksinasi, serta yakinkan ibu bahwa keadaan itu berbahaya dan tidak perlu pengobatan
c.       Bila pembengkakan sakit terjadi seminggu atau lebih sesudah vaksinasi, maka hal ini mungkin disebabkan oleh peradangan yang mungkin diakibatkan oleh jarum suntik tidak steril, penyuntikan kurang dalam
d.      Kejang-kejang merupakan reaksi yang terjadi, tetapi perlu diketahui petugas. Reaksi ini disebabkan oleh komponen pertusis dari DPT. Oleh karena efek samping ini cukup berat, maka anak yang pernah mendapat reaksi ini tidak boleh diberi vaksin DPT lagi dan sebagai gantinya diberi DT saja
2.      Pertusis
Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari adalah suatu penyait akut yang disebabkan oleh bakteri Borditella Pertusis. Sebelum ditemukan vaksin pertusis, penyakit ini merupakan penyakit tersering yang menyerang anak-anak dan merupakan penyebab utama kematian.
Borditella pertusis adalah kuman batang yang bersifat gram negative dan membutuhkan media khusus untuk isolasinya. Kuman ini menghasilkan beberapa antigen antara lain toksin pertusis, filament hemaglutinin, aglutinogen fimbriae, adenil siklase, endotoksin dan sitotoksin trakea. Produk-produk ini berperan dalam terjadinya gejala penyakit pertusis dan kekebalan terhadap salah satu atau lebih komponen ini akan menyebabkan serangan penyakit yang ringan. Pertusis merupakan penyakit yang bersifat toxin mediated dan toksin yang dihasilkan kuman yang melekat pada bulu getar saluran nafas atas akan melumpuhkan bulu getar tersebut hingga menyebabkan gangguan aliran secret saluran nafas dan berpotensi menyebabkan pneumonia. Gejala pertusis timbul saat terjadinya penumpukan lendir dalam saluran pernafasan akibat kegagalan aliran oleh bulu getar yang lumpuh dan berakibat pada terjadinya batuk paroksimal tanpa inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop. Pada serangan seperti ini, pasien biasanya akan muntah dan sianosis yang membuat pasien menjadi sangat lemas dan tegang. Keadaan ini dapat berlanjut antara 1 sampai 10 minggu. Pada bayi di bawah 6 bulan juga dapat menderita batuk seperti ini namun biasanya tanpa disertai suara whoop.
Antibodi terhadap kuman pertusis dan hemaglutinintelah dapat ditemukan dalam serum neonatus dalam konsentrasi yang sama dengan ibunya dan akan menghilang dalam 4 bulan. Vaksin pertusis whole cell adalah vaksin yang merupakan suspensi kuman B. pertusis mati. Umumnya vaksin pertusis dengan menggunakan fraksi sel memberikan reaksi local dan demam yang lebih ringan disbanding dengan whole cell.
Dampak dari pertusis diantaranya kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi. Terkadang juga ditemukan demam ringan dan hiperpireksia.
1.      Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak terhadap pemberian  vaksin pertusis, baik whole cell maupun aseluler yaitu riwayat anafilaksis dan enosefalopati pascavaksinasi pertusis sebelumnnya. Bila pada pemb erian awal dijumpai riwayat hiperpireksia, hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudahnya.
3.      Tetanus
Tetanus adalah suatu penyakit akut yang bersifat fatal, dotal, disebabkan oleh eksotoksin kuman clostridium tetani. Kuman ini berbentuk batanag, bersifat gram positif dan bermetabolisme anaerob, yang mampu menghasilkan spora dalam bentuk drumstick. Kuman ini sensitive terhadap suhu panas dan tidak bias hidup dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya spora tetanus sangat tahan panas, dan kebal terhadap antiseptic. Spora ini dapat tetap hidup dalam autoclave bersuhu 121 derajat Celsius seslama 10 sampai 15 menit. Kuman ini dapat tersebar dalam kotoran, debu jalanan, usus dan feses kuda, domba, anjing, kucing, tikus dan lainnya. Kuman ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dan dalam suasana anaerob, kemudian memproduksi toksin (tetanuspasmin), lalu disebarkan melalui darah dan limfa. Toksin ini kemudian akan menempel apada reseptor di system saraf. Gejala utama penyakit ini timbul akibat toksin tetanus yang mempengaruhi pelepasan neurodrasmiter yang berakibat penghambatan implusinhibisi, sehingga terjadi kontraksi sehingga terjadi spastisitas otot yang terkontrol, kejang-kejang, dan gangguan saraf ototnom.
Tetanus selain dapat ditemukan pada anak-anak, juga dijumpai kasus tetanus neonatorum yang cukup fatal. Komplikasi yang sering terjadi antara lain, laringospasme, infeksi nosokomial, dan pneumonia ortostastik. Pada anak yang lebih besar sering terjadi hiperpireksia yang juga merupakan tanda tetanus berat. Perawatan luka merupakan pencegahan utama pada tetanus, di samping imunisasi tetanus, baik aktif maupun pasif.
Toksoid Tetanus yang diperlukan untuk imunissasi sebesar 40 IU dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis. Sebagaimana toksoid lainnya, toksoid tetanus ini memerlukan pemberian bertahap untuk meningkatkan efektifitas dan mempertahankan imunitas. Tidak perlu pengulangan dosis bila jadwal pemberian terlambat. Ibu yang mendapat toksoid tetanus 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir terhadap tetanus neonatorum. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 IU/ml pada ibu cukup untuk memberikan proteksi terhadap bayi.
Untuk vaksin TT dosis yang diberikan adalah 0,5 ml dan disuntikkan intramuscular/subcutan di otot deltoid, paha dan bokong.
D.    Poliomielitis
Kata polio (abu-abu) dan myelon (sumsum), berasal dari bahasa latin yang berarti medulla spinalis. Penyakit ini disebabkan oleh virus poliomyelitis pada medulla spinalis yang secara klasik menimbulkan kelumpuhan.
Virus polio termasuk dalam kelompok (subgroup) enterovirus, famili picomaviridae. Virus polio dibagi menjadi 3 macam serotype yaitu P1, P2, dan P3. Virus polio ini menjadi tidak aktif  apabila terkena panas, formaldehida, dan sinar ultraviolet.
Virus polio menyebar dari orang ke orang melalui jalur oro-fekal dan pada beberapa kasus dapat berlangsung secara ora-oral. Infeksi virus mencapai puncak pada musim panas, sedangkan pada daerah tropis tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi. Virus polio sangat infeksius sejak 7 sampai 10 hari sebelum dan setelah timbulnya gejala, tetapi virus polio dapat ditemukan dalam feses sejak 3 sampai 6 minggu.
Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama kali terjadi pada tempat implantasi, yaitu di dalam faring dan traktus gastrointestinal. Virus tersebut umumnya ditemukan di tenggorokan dan feses sebelum timbulnya gejala satu minggu setelah timbulnya penyakit, virus dalam jumlah kecil akan menetap di tenggorokan, tetapi virus tersebut terus menerus dikeluarkan bersama feses dalam beberapa minggu. Virus menembus jaringan limfoid setempat, masuk dalam pembuluh darah kemudian masuk system saaraf pusat. Aplikasi virus polio yang teerjadi dalam neuron motor kornu anterior medulla spinalis dan batang otak mengakibatkan kerusakan sel dan menyebabkan poliomielitis yang spesifik.
Masa inkubasi poliomyelitis umumnya berlangsung dala 6-20 hari dengan kisaran 3-35 hari.
1.      Meningitis Aseptik Nonparalisis
Anak menjadi iritabel, peka saraf meningkat, ada gejala kaku kuduk, serta kaku punggung dan kaki yang berlangsung antara 2-10 hari dan akan sembuh sempurna.
2.      Paralisis flaksid atau Lumpuh Layu
Gejala kelayuan umumnya mulai 1-10 hari setelah gejala prodormal dan berlangsung selam 2-3 hari.  Polio spinal sering menyerang tungkai bawah, Polio bulbar mengakibatkan kelumpuhan otot-otot yang dipengaruhi oleh saraf cranial. Polio bulbospinal kombinas dari polio bulbar dan spinal.



Rekomendasi untuk vaksin ini adalah :
1.      imunisasi primer pada bayi dan anak
2.      Vaksin polio oral diberikan pada BBL sebagai dosis awal. Kemudian diteruskan dengan imunissaasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang diberikan 3 dosis terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu. Satu dosis sebanyak 2 tetes (0,1ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan yang pemberiannya dapat diberikan bersamaan dengan suntikan vaksin PT dan hepatitis B. Bila OPV yang diberikan dimuntahkan 10 menit, maka dosis tersebut perlu diulang.
3.      Pemberian ASI tidak berpengaruh pada respons antibody terhadapa OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda. Anak-anak dengan imunosupresi dan mereka yang kontak dekat dengan penderita harus imunisasi
4.      Anak yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan eskresi virus vaksin selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi pada kontak yang belum diimunisasi
5.      Anak yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan ekskresi virus vaksin selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk mereka yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru saja diberi OPV, dihimbau untuk menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok.
E.     Campak
Virus dalam droplet masuk melalui pernapasan dan selanjutnya masuk kelenjar getah bening yang berada di bawah mukosa, di tempat ini virus memperbanyak diri kemudian menyebar ke sel-sel jari ngan limforetikuler seperti limpa. Sel monokuler yang terinfeksi membentuk sel berinti raksasa yang disebut sel warthin, sedangkan sel T limfosit meliputi kelompok penekan dan penolong yang rentan terhadap infeksi, aktif membelah. Pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah infeksi awal, focus infeksi terwujud, yaitu ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran pernapasan, kulit, kandung kemih, dan saluran usus. Selanjutnyaa pada hari ke – 9 sampai dengan ke -10 fokus infeksi berada di epitel salluran nafas. Pada saat itu muncul gejala coriza (pilek) diserta dengan peradangan selaput konjungtiva yang tampak merah. Pasien tampak lemah disertai suhu tubbuh yang meningkat, lalu pasien tampak sakit berat sampai munculnya ruam kulit. Pada hari ke-11 tampak pada mukosa pipi suatu ulser kecil (bintik koplik) yang merupakan tempat virus tumbuh selanjutnya mati. Kondisi ini merupakan tanda pasti untuk menegakkan diagnostic. Akhirnya mmuncul ruam makulopapular di hari ke-14 sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibody humoral dapat dideteksi dan selanjutnya suhu tubuh menurun.
Diagnosa kasus campak biasanya dapat dibuat atas dasar gejala klinik yang saling berkaitan, yaitu coriza dan mata meradang disertai batuk dan demam yang tinggi dalam beberapa hari lalu diikuti timbulnya ruam makulopapular pada kulit yang memiliki ciri khas.

Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000 TCID atau sebanyak 0,5 ml. Untuk vaksin hidup, pemberian 20 TCID saja mungkin sudah dapat memberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan melalui subcutan walaupun demikian dapat juga diberikan secara intramuscular. Daya proteksi vaksin campak diukur berbagai cara. Salah satu indicator pengaruh vaksin terhadap proteksi adalah penurunan angka kejadian kasus campak ssesudah pelaksanaannya program imunisasi. Dianjurkan pemberian imunisasi campak pada bayi berumur 9 bulan. 



No comments:

Post a Comment