truth


counters

nama

Monday 16 November 2015

Hospitalisasi pada anak

A.    Pengertian Hospitalisasi
Hospitalisasi diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab yang bersangkutan dirawat disebuah institusi seperti rumah perawatan (Berton, 1958 dalam Stevens, 1992).
Dalam Supartini (2002), hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.
Penelitian membuktikan bahwa hospitalisasi anak dapt menjadi suatu pengalaman yang menimbulkan trauma, baik pada anak, maupun orang tua. Sehingga menimbulkan reaksi tertentu yang akan sangat berdampak pada kerja sama anak dan orang tua dalam perawatan anak selama di rumah sakit (Halstroom dan Elander, 1997, Brewis, E, 1995, dan Brennan, A, 1994). Oleh karena itu betapa pentingnya perawat memahami konsep hospitalisasi dan dampaknya pada anak dan orang tua sebagai dasar dalam pemberian asuhan keperawatan (Supartini, 2002).
Tingkah laku pasien yang dirawat di rumah sakit dapat dikenal menurut Berton (1958 dalam Stevens, 1992) dari :
-            Kelemahan untuk berinisiatif
-            Kurang/ tak ada perhatian tentang hari depan
-            Tak berminat (ada daya tarik)
-            Kurang perhatian cara berpakaian dan segala sesuatu yang bersifat pandangan luas
-            Ketergantungan dari orang-orang yang membantunya.
B.     Cemas akibat perpisahahn pada anak
Perasaan cemas ini mungkin dapat terjadi ketika orang tua melihat anaknya mendapat prosedur menyakitkan seperti pengambilan darah, injeksi, dan prosedur invasiof lainnya. Hal ini mungkin saja membuat orang tua merasa sedih atau bahkan menangis karena tidak tega melihat anaknya. Oleh karea itu, pada kondisi ini perawat atau petugas kesehatan harus lebih bijaksana bersikap pada anak dan orang tuanya.
Penelitian membuktikan bahwa rasa cemas paling tinggi dirasakan orang tua saat menunggu nformasi tentang diagnosis penyakit anaknya (Supartini, 2000), sedangkan rasa takut muncul pada orang tua terutama akibat takut kehilangan anak pada kondisi sakit yang terminal (Brewis, 1995). Hal lain yang mungkin menyebabkan rasa cemas adalah rasa trauma terhadap lingkungan rumah sakit, ataupun rasa cemas karena pertama kali membawa anaknya untuk dirawat di rumah sakit sehingga merasa asing dengan lingkungan baru.
Perilaku yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan adanya perasaan cemas dan takut ini adalah sering bertanya atau bertanya tentang hal yang sama secara berulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang, dan bahkan marah (Supartini, 2001).
C.     Reaksi anak, orang tua dan saudara terhadap hospitalisasi

1.       Reaksi anak terhadap hospitalisasi
à Kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri masa bayi ( 0 - 1 tahun )
® Perpisahan dengan orang tua : gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang
® Terjadi stranger anxiety ( usia 6 bulan ) : cemas apabila berhadapan dengan orang asing dan perpisahan
® Reaksinya : menangis, marah, banyak melakukan gerakan

Masa toddler ( 2 – 3 tahun )
® Sumber stress yang utama : cemas akibat perpisahan
® Respon : tahap protes, putus asa dan pengingkaran
® Tahap protes : menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain
® Tahap putus asa : menangis berkurang,anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat bermain dan makan, sedih dan apatis
® Tahap pengingkaran : mulai menerima perpisahan,membina hubungan secara dangkal, anak mulai terlihat menyukai lingkungannya

Masa prasekolah
® Perawatan di RS : anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasing sayang dan menyenagkan
® Reaksi terhadap perpisahan : menolak makan, sering bertanya, menagis secara perlahan dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
2.       Reaksi orang tua
a.      Perasaan cemas dan takut
® Perasaan cemas dan takut : mendapat prosedur menyakitkan
® Cemas paling tinggi : menunggu informasi tentang diagnosa penyakit anaknya
® Takut muncul : takut kehilangan anak pada kondisi sakit terminal
® Perilaku : sering bertanya / bertanya tentang hal yang sama secara berulang-ulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang dan marah
b.      Perasaan sedih
® Muncul pada saat anak dalam kondisi terminal
® Perilaku : isolasi, tidak mau didekati orang lain, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
c.       Perasaan frustasi
® Putus asa dan frustasi : anak yang telah dirawat cukup lama dan tidak mengalami perubahan, tidak adekuatnya dukungan psikologis
® Perilaku : tidak kooperatif, putus asa, menolak tindakan, menginginkan pulang paksa

3.       Reaksi Saudara
a.       Perasaan dan pikiran negatif
® Anak yang lebih kecil merasa dan berpikiran negatif : kebutuhan diprioritaskan pada anak yang sakit
® Reaksi yang muncul : marah, cemburu, benci dan rasa bersalah
Marah : jengkel pada orang tua yang dinilainya tidak memperhatikannya
Cemburu : orang tua lebih mementingkan saudaranya yang sakit
Benci : situasi yang dinilainya Sangay tidak menyenangkan
Rasa bersalah : anak berpikir mungkin saudaranya sakit akibat kesalahannya
® Takut dan cemas : ketidaktahuan tentang kondisi saudaranya
® Kesepian :situasi rumah dirasakanya tidak seperti biasanya penuh kehangatan, bercengkrama dengan orang tua dan saudaranya

D.    Pencegahan dalam mengatasi dampak hospitalisasi
Untuk mencegah supaya masalah hospitalisasi teratasi maka peran perawat adalah tetap memberikan dukungan dan dorongan kepada klien secara efektif agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan tetap menjaga kepercayaan klien agar klien tidak merasa takut terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh perawat.

Fokus intervensi keperawatan adalah sebagai berikut :
1.      Meminimalkan stressor
2.      Memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga klien
3.      Mempersiapkan klien sebelum masuk rumah sakit

·         Upaya meminimalkan stresor atau penyebab stress dapat dilakukan dengan cara :
1.      Mencegah atau mengurangi dampak perpisahan
2.      Mencegah perasaan kehilangan kontrol
3.      Mengurangi / meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh dan rasa nyeri

·         Upaya mencegah / meminimalkan dampak perpisahan
  1. Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak
  2. Modifikasi ruang perawatan
  3. Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah
  4. Surat menyurat, bertemu teman sekolah

·         Mencegah perasaan kehilangan kontrol:
1.      Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif.
2.      Bila anak diisolasi lakukan modifikasi lingkungan
3.      Buat jadwal untuk prosedur terapi,latihan,bermain
4.      Memberi kesempatan anak mengambil keputusan dan melibatkan orang tua dalam perencanaan kegiatan

·         Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri
1.      Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri
  1. Lakukan permainan sebelum melakukan persiapan fisik anak
  2. Menghadirkan orang tua bila memungkinkan
  3. Tunjukkan sikap empati
  4. Pada tindakan elektif bila memungkinkan menceritakan tindakan yang dilakukan melalui cerita, gambar. Perlu dilakukan pengkajian tentang kemampuan psikologis anak menerima informasi ini dengan terbuka

·         Memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak
1.      Membantu perkembangan anak dengan memberi kesempatan orang tua untuk belajar.
2.      Memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak.
3.      Meningkatkan kemampuan kontrol diri.
4.      Memberi kesempatan untuk sosialisasi.
5.      Memberi support kepada anggota keluarga.

·           Mempersiapkan anak untuk mendapat perawatan di rumah sakit
1.      Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia anak.
2.      Mengorientasikan situasi rumah sakit.
3.      Pada hari pertama lakukan tindakan :
o   Kenalkan perawat dan dokter yang merawatnya
o   Kenalkan pada pasien yang lain.
o   Berikan identitas pada anak.
o   Jelaskan aturan rumah sakit.
o   laksanakan pengkajian .
o   Lakukan pemeriksaan fisik.

Selain itu, perawat juga berperan sebagai promotif yang memberikan pandangan pada keluarga agar selalu setia mendampingi dan memberi perhatian lebih kepada klien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit.Hal ini menjadi salah satu pendukung karena kehadiran orang terdekat dapat mengurangi rasa cemas maupun jenuh selama klien menjalani perawatan.




Hospitalisasi merupakan perawatan yang dilakukan dirumah sakit dan dapat menimbulkan trauma dan stress pada klien yang baru mengalami rawat inap dirumah sakit. Hospitalisasi dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan yang memaksa seseorang harus menjalani rawat inap di rumah sakit untuk menjalani pengobatan maupun terapi yang dikarenakan klien tersebut mengalami sakit. Pengalaman hospitalisasi dapat mengganggu psikologi seseorang terlebih bila seseorang tersebut tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya di rumah sakit. Pengalaman hospitalisasi yang dialami klien selama rawat inap tersebut tidak hanya mengganggu psikologi klien, tetapi juga akan sangat berpengaruh pada psikososial klien dalam berinteraksi terutama pada pihak rumah sakit termasuk pada perawat.
Hospitalisasi diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab yang bersangkutan dirawat disebuah institusi seperti rumah perawatan (Berton, 1958 dalam Stevens, 1992).
Dalam Supartini (2002), hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.
Penelitian membuktikan bahwa hospitalisasi anak dapt menjadi suatu pengalaman yang menimbulkan trauma, baik pada anak, maupun orang tua. Sehingga menimbulkan reaksi tertentu yang akan sangat berdampak pada kerja sama anak dan orang tua dalam perawatan anak selama di rumah sakit (Halstroom dan Elander, 1997, Brewis, E, 1995, dan Brennan, A, 1994). Oleh karena itu betapa pentingnya perawat memahami konsep hospitalisasi dan dampaknya pada anak dan orang tua sebagai dasar dalam pemberian asuhan keperawatan (Supartini, 2002).
Tingkah laku pasien yang dirawat di rumah sakit dapat dikenal menurut Berton (1958 dalam Stevens, 1992) dari :
-    Kelemahan untuk berinisiatif.
-    Kurang/ tak ada perhatian tentang hari depan.
-    Tak berminat (ada daya tarik).
-    Kurang perhatian cara berpakaian dan segala sesuatu yang bersifat pandangan luas.
-    Ketergantungan dari orang-orang yang membantunya.

 Manfaat Hospitalisasi
Menurut Supartini (2004), cara memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak adalah sebagai berikut.
1.  Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan orang tua mempelajari tumbuh-kembang anak dan reaksi anak terhadap stressor yang dihadapi selama dalam perawatan di rumah sakit.
2.  Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua.Untuk itu, pearawat dapat memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang didapat, dan prosedur keperawatan yang dilakukan pada anak, tentunya sesuai dengan kapasitas belajarnya.
3.   Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain dan percaya diri. Tentunya hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar, bukan bayi. Berikan selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian atas kemampuan anak dan orang tua dan dorong terus untuk meningkatkannya.
4.   Fasilitasi anak untuk menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien yang ada, teman sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling kenal dan berbagi pengalamannya. Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang tua harus difasilitasi oleh perawat karena selama di rumah sakit orang tua dan anak mempunyai kelompok sosial yang baru.

Faktor-Faktor Penunjang Hospitalisasi
Faktor-faktor yang menunjang hospitalisasi (Stevens, 1992) :
a.    Kepribadian Manusia
Tidak setiap orang peka terhadap hospitalisasi. Kita melihat ada sebagian orang yang sangat menderita dan sangat tergantung pada pada apa yang diberikan lingkungannya. Namun ada juga yang menangani sendiri dan tidak bisa menerima keadaan itu begitu saja. Semua tergantung dari segi kepribadian manusia itu sendiri.

b.    Kehilangan Kontak dengan Dunia Luar Rumah Perawatan
Pasien/ orang yang tinggal di rumah perawatan akan kehilangan kontak yang sudah lama berjalan dengan terpaksa. Dia sudah tidak berada lagi dalam lingkungan yang aman yang dijalaninya dalam sebagian besar hidupnya.
Orang-orang yang sering berkomunikasi dengannya kini hanya sekedar bertamu dalam suasana yang berbeda, hanya sebagian kecil keluarga dekat yang menemaninya. Sebagian besar kontak-kontak dengan orang senasib yang terbatas dalam ruang perawatan yang sama dan dengan orang-orang yang membantunya. Dunia mereka boleh dikatakan terbatas pada lingkungan kecil. Apalagi ia bergaul dengan orang-orang yang sebenarnya bukan pilihannya.

c.    Sikap Pemberi Pertolongan
Ada perbedaan tugas antara pasien dan yang memberi pertolongan. Ini terlihat jelas dalam kegiatan mereka sehari-hari. Pasien biasanya menunggu dan yang menolong yang menentukan apa yang dilakukan dan kapan. Pasien menunggu apa yang terjadi dan perawat yang tahu. Pasien tergantung pada yang menolong dan ia terpaksa mengikuti. Ia sering merasa tidak berdaya sehingga merasa harga dirinya berkurang. Hal ini membuat dirinya lebih merasa tergantung. Perawat melakukan pekerjaan yang rutin dan berkembang sedikit saja, hal ini akan membuat mereka menanamkan jiwa hospitalisasi pada pasien.

d.    Suasana Bagian Perawatan
Suasana bagian sebagian besar ditentukan oleh sikap personel/ perawat, baik oleh hubungan antar sesama perawat, maupun oleh sikap mereka terhadap pasien dan tamu-tamu mereka. Cara berpakaian orang-orang di bagian juga sangat penting. Cara manuasia bergaul,  dapat mempengaruhi sikap pasien. Ketergantungan antara personal biasanya mudah dapat dipengaruhi. Pasien yang dirawat inap mendapat kesan bahwa mereka bukan yang terpenting dalam perawatan ini. Juga ternyata bahwa orang-orang yang hanya mendapatkan tugas melaksanakan pekerjaan dan tanpa bisa memberi tanggapan atau saran maka pasien-pasien atau tamu-tamu mereka akan diperlakukan sama seperti itu. Ini memperbesar kemungkinan adanya hospitalisasi.

e.    Obat-Obatan
Obat-obatan dapat memberi pengaruh besar pada sikap. Beberapa obat-obatan dapat mengakibatkan adanya tanda-tanda yang sama seperti hospitalisasi. Dengan sendirinya, kemungkinan hospitalisasi besar. Jika dipakai obat-obatan yang dapat merangsang adanya sikap tadi.



Mempersiapkan Anak Untuk Mendapatkan Pelayanan Di Rumah Sakit
Rumah sakit tempat dirawat mungkin merupakan tempat dan suasana baru bagi anak. Oleh karena itu, persiapan sebelum dirawat itu sangat penting. Persiapan anak sebelum dirawat di rumah sakit didasarkan pada asumsi bahwa ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui akan menjadi ketakutan yang (Supartini, 2004).
Menurut Supartini (2004), pada tahap sebelum masuk rumah sakit dapat dilakukan :
1.    Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia dan jenis penyakit dengan peralatan yang diperlukan.
2.    Apabila anak harus dirawat secara berencana, 1-2 hari sebelum dirawat diorientsikan dengan situasi rumah sakit dengan bentuk miniatur bangunan rumah sakit.
Sedangkan pada hari pertama dirawat, menurut Supartini (2004), tindakan yang harius dilakuan adalah :
1.  Kenalkan perawat dan dokter yang akan merawatnya.
2. Orientasikan anak dan orang tua pada ruangan rawat yang ada beserta fasilitas yang dapat digunakannya.
3.  Kenalkan dengan pasien anak lain yang akan menjadi teman sekamarnya.
4.  Berikan identitas pada anak. Misalnya pada papan nama anak.
5.  Jelaskan aturan rumah sakit yang berlaku da jadwal kegiatan yang harus diikuti.
6.  Laksanakan pengkajian riwayat keperawatan.
7.  Lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainya sesuai dengan yang diprogramkan.

 Stressor Dalam Hospitalisasi
Saat dirawat di rumah sakit atau tengah menjalani proses hospitalisasi, klien (dalam hal ini adalah anak), tentu akan mengalami stress akibat dari segala macam bentuk perubahan yang ia alami, seperti perubahan lingkungan, suasana, dan lain sebagainya.
a.       Reaksi anak terhadap hospitalisasi
Stressor dan reaksi hospitalisasi sesuai dengan  tumbuh kembang pada anak  (Novianto dkk,2009):
1)      Masa Bayi (0-1 tahun)
Dampak perpisahan, usia anak >  6bulan terjadi stanger anxiety (cemas)
- Menangis keras
- Pergerakan tubuh yang banyak 
- Ekspresi wajah yang tidak menyenangkan
 
2)   Masa Todler (2-3 tahun)
Sumber utama adalah cemas akibat perpisahan. Disini respon perilaku anak dengan tahapnya.

3)   Masa Prasekolah (3-6 tahun)
Sering kali dipersepsikan anak sekolah sebagai hukuman, sehingga menimbulkanreaksi agresif.
-  Menolak makan
-  Sering bertanya
-  Menangis perlahan
-  Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan

4)   Masa Sekolah (6-12 tahun)
Perawatan di rumah sakit memaksakan ;
-  Meninggalkan lingkungan yang dicintai
-  Meninggalkan keluarga
-  Kehilangan kelompok sosial, sehingga menimbulkan kecemasan

5)   Masa Remaja (12-18 tahun)
Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh kelompok sebayanya. Reaksi yang muncul:
-  Menolak perawatan / tindakan yang dilakukan
-  Tidak kooperatif dengan petugas
-  Bertanya-tanya
-  Menarik diri
-  Menolak kehadiran orang lain

Pendekatan yang digunakan dalam hospitalisasi (Novianto dkk, 2009) :
1.   Pendekatan Empirik 
Dalam menanamkan kesadaran diri terhadap para personil yang terlibat dalam hospitalisasi, metode pendekatan empirik menggunakan strategi, yaitu ;
1)   Melalui dunia pendidikan yang ditanamkan secara dini kepada peserta didik.
2) Melalui penyuluhan atau sosialisasi yang diharapkan kesadaran diri mereka sendiridan  peka terhadap lingkungan sekitarnya.

2.   Pendekatan Melalui Metode Permainan           
Metode permainan merupakan cara alamiah bagi anak untuk mengungkapkankonflik dalam dirinya yang tidak disadari. Kegiatan yang dilakukan sesuai keinginansendiri untuk memperoleh kesenangan.

b.        Reaksi keluarga terhadap hospitalisasi
Berikut beberapa reaksi orang tua saat anak mereka dirawat di rumah sakit (Supartini,2004) :
1.    Perasaan Cemas dan Takut
Perasaan cemas ini mungkin dapat terjadi ketika orang tua melihat anaknya mendapat prosedur menyakitkan seperti pengambilan darah, injeksi, dan prosedur invasiof lainnya. Hal ini mungkin saja membuat orang tua merasa sedih atau bahkan menangis karena tidak tega melihat anaknya. Oleh karea itu, pada kondisi ini perawat atau petugas kesehatan harus lebih bijaksana bersikap pada anak dan orang tuanya.
Penelitian membuktikan bahwa rasa cemas paling tinggi dirasakan orang tua saat menunggu nformasi tentang diagnosis penyakit anaknya (Supartini, 2000), sedangkan rasa takut muncul pada orang tua terutama akibat takut kehilangan anak pada kondisi sakit yang terminal (Brewis, 1995). Hal lain yang mungkin menyebabkan rasa cemas adalah rasa trauma terhadap lingkungan rumah sakit, ataupun rasa cemas karena pertama kali membawa anaknya untuk dirawat di rumah sakit sehingga merasa asing dengan lingkungan baru.
Perilaku yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan adanya perasaan cemas dan takut ini adalah sering bertanya atau bertanya tentang hal yang sama secara berulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang, dan bahkan marah (Supartini, 2001).

2.    Perasaan Sedih
Perasaan sedih sering muncul ketika anak pada saat anak berada pada kondisi termal dan orang tua mengetahui bahwa anaknya hanya memiliki sedikit kemungkinan untuk dapat sembuh. Bahkan ketika menghadapi anaknya yang menjelang ajal, orang tua merasa sedih dan berduka. Namun di satu sisi, orang tua harus berada di samping anaknya sembari memberikan bimbingan spiritual pada anaknya. Pada kondisi ini, orang tua menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau didekati orang lain, bahkan bisa tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan (Supartini, 2000).

3.    Perasaan Frustasi
Pada kondisi ini, orang tua merasa frustasi dan putus asa ketika melihat anaknya yang telah dirawat cukup lama namun belum mengalami perubahan kesehatan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan psikologis dari pihak-pihak luar (seperti keluarga ataupun perawat atau petugas kesehatan). 

4.    Perasaan Bersalah
Perasaan bersalah muncul karena orang tua menganggap dirinya telah gagal dalam memberikan perawatan kesehatan  pada anaknya sehingga anaknya harus mengalami suatu perubahan kesehatan yang harus ditangani oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.
Memberikan dukungan pada angota keluarga lain (Supartini, 2004) :
1.  Berikan dukungan pada keluarga untuk mau tinggal dengan anak di rumah sakit.
2.  Apabila diperluakn, fasilitasi keluarga untuk berkonsultasi pada psikolog atau ahli agama karena sangat dimungkinkan keluarga mengalami masalah psikososial dan spiritual yang memerluakn bantuan ahli.
3. Beri dukungan pada keluarga untuk meneria kondisi anaknya dengan nilai-nilai yang diyakininya.
4. Fasilitasi untuk menghadirkan saudara kandung anak apabila diperlukan keluarga dan berdampak positif pada anak yang dirawat ataupun saudara kandungnya.

Dampak Hospitalisasi
Perawatan anak di rumah sakit tidak hanya menjadi masalah pada anak, tetapi juga pada orang tua. Brewis (1995 dalam Supartini, 2002) menemukan rasa takut pada orang tua selama perawatan anak di rumah sakit terutama pada kondisi sakit anak yang terminal karena takut akan kehilangan anak yang dicintainya dan adanya perasaan berduka. Stessor lain yang sangat menyebabkan orang tua stres adalah mendapatkan informasi buruk tentang diagnosis medik anaknya, perawatan yang tidak direncanakan dan pengalaman perawatan di rumah sakit sebelumnya yang dirasakan menimbulkan trauma (Supartini (2000) dalam Supartini, 2002)
Menurut Asmadi (2008), hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi setiap orang. Penyakit yang diderita akan menyebabkan perubahan perilaku normal sehingga klien perlu menjalani perawatan (hospitalisasi). Secara umum, menurut Asmadi (2008), hospitalisasi menimbulkan dampak pada beberapa aspek, yaitu:
1.    Privasi
Privasi dapat diartikan sebagai refleksi perasaan nyaman pada diri seseorang dan bersifat pribadi. Bisa dikatakan, privasi adalah suatu hal yang sifatnya pribadi. Sewaktu dirawat di rumah sakit, klien kehilangan sebagai privasinya. Kondisi ini disebabkan oleh beberpa hal :
-      Selama dirawat di rumah sakit, klien berulang kali diperiksa oleh petugas kesehatan (dalam hal ini perawat dan dokter). Bagian tubuh yang biasanya dijaga agar tidak dilihat, tiba-tiba dilihat fdan disentuh oleh orang lain. Hal ini tentu akan membuat klien merasa tidak nyaman.
-      Klien adalah orang yang berada dalam keadaan lemah dan bergantung pada orang lain. Kondisi ini cendurung membuat klien  “pasrah” dan menerima apapun tindakan petugas kesehatan kepada dirinya asal ia cepat sembuh. Menyikapi hal tersebut, perawat harus selalu memperhatikan dan menjaga privasi klien ketika berinteraksi dengan mereka. Beberapa hal yang dapat perawat lakukan guna menjaga privasi klien adalah sebagai berikut.
a.    Setiap akan melakukan tindakan keperawatan, perawat harus selalu memberitahu dan menjelaskan perihal tindakan tersebut kepada klien.
b.    Memperhatikan lingkungan sebelum melaksanakan tindakan keperawatan. Yakinkan bahwa lingkungan tersebut menunjang privasi klien.
c.    Menjaga kerahasiaan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan klien. Sebagai contoh, setelah memasang kateter, perawat tidak boleh menceritakan alat kelamin pasien kepada orang lain, termasuk pada teman sejajwat.
d.   Menunjukkan sikap profesional selama berinteraksi dengan klien. Perawat tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat klien malu atau marah. Sikap tubuh pun tidak boleh layaknya majikan kepada pembantu.
e.    Libatkan klien dalam aktivitas keperawatan sesuai dengan batas kemampuannya jika tidak ada kontraindikasi.

2.    Gaya Hidup
Klien yang dirawat di rumah sakit sering kali mengalami perubahan pola gaya hzidup. Hal ini disebabkan oleh perubahan kondisi antara rumah sakit dengan rumah ztempat tinggal klien, juga oleh perubahan kondisi keehatan klien. Aktivitas hidup yang klien jalani sewaktu sehat tentu berbeda dengan aktivitas yang dialaminya selama di rumah sakit. Perubahan gaya hidup akibat hospitalisasi inilah yang harus menjadi perhatian setiap perawat. Asuhan keperawatan yang diberikan harus diupayakan sedemikian rupa agar dapat menghilangkan atau setidaknya meminimalkan perubahan yang terjadi.

3.   Otonomi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa individu yang sakit da dirawat di rumah sakit berada dalam posisi ketergantungan. Artinya, ia akan pasrah terhadap tindakan apapun yang dilakukan oleh petugas kesehatan demi mencapai keadaan sehat. Ini meniunjukkan bahwa klien yang dirawat di rumah sakit akan mengalami perubahan otonomi. Untuk mengatasi perubahan ini, perawat harus selalu memberitahu klien sebelum melakukan intervensi apapun dan melibatkan klien dalam intervensi, baik secara aktif maupun pasif.

4.    Peran
Peran dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan individu sesuai dengan status sosialnya Jika ia seorang perawat, peran yang diharapkan adalah peran sebagi perawat bukan sebagai dokter.Selain itu, peran yang dijalani seseorang adalah sesuai dengan status kesehatannya. Peran yang dijalani sewaktu sehat tentu berbeda dengan peran yang dijalani saat sakit.Tidak mengherankan jika klien yang dirawat di rumah sakit mengalami perubahan peran. Perubahan yang terjadi tidak hanya pada diri pasien, tetapi juga pada keluarga. Perubahan tersebut antara lain :
a.    Perubahan peran. Jika salah seorang anggota keluarga sakit, akan terjadi perubahan pera dalam keluarga. Sebagai contoh, jiak ayah sakit maka peran jepala keluarga akan digantikan oleh ibu. Tentunya perubahan peran ini mengharuskan dilaksanakannya tugas tertentu sesuai dengan peran tersebut.
b.    Masalah keuangan. Keuangan keluarga akan terpengaruh oleh hospitalisasi. Keuangan yang sedianya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga akhirnya digunakan untukj keperluan klien yang dirawat. Akibatnya, keuangan ini sangat riskan, terutama pada keluarga yang miskin. Dengan semakin mahalnya biaya kesehatan, beban keuangan keluarga semakin bertambah.
c.     Kesepian. Suasana rumah akan berubah jika ada seorang anggota keluarga ytang dirawat. Keseharian keluarga yang biasanya dihiasi kegembiraan, keceriaan, dan senda-gurau anggotaanya tiba-iba diliputi oleh kesedihan. Suasana keluarga pun menjadi sepi karena perhatian keluarga terpusat pada penanganan anggota keluarganya yang sedang dirawat.
d.    Perubahan kebiasan sosial. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Karenanya, keluarga pun mempunyai kebiasaan dalam lingkungan sosialnya. Sewaktu seha, keluarga mampu berperan serta dalam kegiata sosial. Akan tetapi, saat salah seorang anggota keluarga sakit, keterlibatan keluarga dalam aktivitas sosial di masyarakatpun mengalami perubahan. 

 Mengatasi Dampak Hospitalisasi
Menurut Supartini (2004, hal. 196), cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak hospitalisasi adalah sebagai berikut :
a.       Upaya meminimalkan stresor :
Upaya meminimalkan stresor dapat dilakukan dengan cara mencegah atau mengurangi dampak perpisahan, mencegah perasaan kehilangan kontrol dan mengurangi/ meminimalkan rasa takut terhadap pelukaan tubuh dan rasa nyeri

b.      Untuk mencegah/meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan dengan cara :
1)     Melibatkan keluarga berperan aktif dalam merawat pasien dengan cara membolehkan mereka tinggal bersama pasien selama 24 jam (rooming in).
2)     Jika tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan keluarga untuk melihat pasien setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antar mereka.

3)     Modifikasi ruangan perawatan dengan cara membuat situasi ruangan rawat perawatan seperti di rumah dengan cara membuat dekorasi ruangan.













No comments:

Post a Comment