A.
Pengertian Hospitalisasi
Hospitalisasi
diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab yang
bersangkutan dirawat disebuah institusi seperti rumah perawatan (Berton, 1958
dalam Stevens, 1992).
Dalam
Supartini (2002), hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan
yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit,
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.
Penelitian
membuktikan bahwa hospitalisasi anak dapt menjadi suatu pengalaman yang
menimbulkan trauma, baik pada anak, maupun orang tua. Sehingga menimbulkan
reaksi tertentu yang akan sangat berdampak pada kerja sama anak dan orang tua
dalam perawatan anak selama di rumah sakit (Halstroom dan Elander, 1997,
Brewis, E, 1995, dan Brennan, A, 1994). Oleh karena itu betapa pentingnya
perawat memahami konsep hospitalisasi dan dampaknya pada anak dan orang tua
sebagai dasar dalam pemberian asuhan keperawatan (Supartini, 2002).
Tingkah laku
pasien yang dirawat di rumah sakit dapat dikenal menurut Berton (1958 dalam
Stevens, 1992) dari :
-
Kelemahan untuk berinisiatif
-
Kurang/ tak ada perhatian tentang hari depan
-
Tak berminat (ada daya tarik)
-
Kurang perhatian cara berpakaian dan segala sesuatu yang bersifat pandangan
luas
-
Ketergantungan dari orang-orang yang membantunya.
B.
Cemas akibat perpisahahn pada anak
Perasaan
cemas ini mungkin dapat terjadi ketika orang tua melihat anaknya mendapat
prosedur menyakitkan seperti pengambilan darah, injeksi, dan prosedur invasiof
lainnya. Hal ini mungkin saja membuat orang tua merasa sedih atau bahkan
menangis karena tidak tega melihat anaknya. Oleh karea itu, pada kondisi ini
perawat atau petugas kesehatan harus lebih bijaksana bersikap pada anak dan
orang tuanya.
Penelitian
membuktikan bahwa rasa cemas paling tinggi dirasakan orang tua saat menunggu
nformasi tentang diagnosis penyakit anaknya (Supartini, 2000), sedangkan rasa
takut muncul pada orang tua terutama akibat takut kehilangan anak pada kondisi
sakit yang terminal (Brewis, 1995). Hal lain yang mungkin menyebabkan rasa
cemas adalah rasa trauma terhadap lingkungan rumah sakit, ataupun rasa cemas
karena pertama kali membawa anaknya untuk dirawat di rumah sakit sehingga
merasa asing dengan lingkungan baru.
Perilaku
yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan adanya perasaan cemas dan
takut ini adalah sering bertanya atau bertanya tentang hal yang sama secara
berulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang, dan bahkan
marah (Supartini, 2001).
C.
Reaksi anak, orang tua dan saudara
terhadap hospitalisasi
1. Reaksi
anak terhadap hospitalisasi
à Kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri masa bayi ( 0 - 1 tahun )
® Perpisahan dengan orang tua : gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang
® Terjadi stranger anxiety ( usia 6 bulan ) : cemas apabila berhadapan dengan orang asing dan perpisahan
® Reaksinya : menangis, marah, banyak melakukan gerakan
Masa toddler ( 2 – 3 tahun )
® Sumber stress yang utama : cemas akibat perpisahan
® Respon : tahap protes, putus asa dan pengingkaran
® Tahap protes : menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain
® Tahap putus asa : menangis berkurang,anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat bermain dan makan, sedih dan apatis
® Tahap pengingkaran : mulai menerima perpisahan,membina hubungan secara dangkal, anak mulai terlihat menyukai lingkungannya
Masa prasekolah
® Perawatan di RS : anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasing sayang dan menyenagkan
® Reaksi terhadap perpisahan : menolak makan, sering bertanya, menagis secara perlahan dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
à Kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri masa bayi ( 0 - 1 tahun )
® Perpisahan dengan orang tua : gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang
® Terjadi stranger anxiety ( usia 6 bulan ) : cemas apabila berhadapan dengan orang asing dan perpisahan
® Reaksinya : menangis, marah, banyak melakukan gerakan
Masa toddler ( 2 – 3 tahun )
® Sumber stress yang utama : cemas akibat perpisahan
® Respon : tahap protes, putus asa dan pengingkaran
® Tahap protes : menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain
® Tahap putus asa : menangis berkurang,anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat bermain dan makan, sedih dan apatis
® Tahap pengingkaran : mulai menerima perpisahan,membina hubungan secara dangkal, anak mulai terlihat menyukai lingkungannya
Masa prasekolah
® Perawatan di RS : anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasing sayang dan menyenagkan
® Reaksi terhadap perpisahan : menolak makan, sering bertanya, menagis secara perlahan dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
2. Reaksi
orang tua
a. Perasaan
cemas dan takut
® Perasaan cemas dan takut : mendapat prosedur menyakitkan
® Cemas paling tinggi : menunggu informasi tentang diagnosa penyakit anaknya
® Takut muncul : takut kehilangan anak pada kondisi sakit terminal
® Perilaku : sering bertanya / bertanya tentang hal yang sama secara berulang-ulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang dan marah
® Perasaan cemas dan takut : mendapat prosedur menyakitkan
® Cemas paling tinggi : menunggu informasi tentang diagnosa penyakit anaknya
® Takut muncul : takut kehilangan anak pada kondisi sakit terminal
® Perilaku : sering bertanya / bertanya tentang hal yang sama secara berulang-ulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang dan marah
b. Perasaan
sedih
® Muncul pada saat anak dalam kondisi terminal
® Perilaku : isolasi, tidak mau didekati orang lain, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
® Muncul pada saat anak dalam kondisi terminal
® Perilaku : isolasi, tidak mau didekati orang lain, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
c. Perasaan
frustasi
® Putus asa dan frustasi : anak yang telah dirawat cukup lama dan tidak mengalami perubahan, tidak adekuatnya dukungan psikologis
® Perilaku : tidak kooperatif, putus asa, menolak tindakan, menginginkan pulang paksa
® Putus asa dan frustasi : anak yang telah dirawat cukup lama dan tidak mengalami perubahan, tidak adekuatnya dukungan psikologis
® Perilaku : tidak kooperatif, putus asa, menolak tindakan, menginginkan pulang paksa
3. Reaksi
Saudara
a. Perasaan
dan pikiran negatif
® Anak yang lebih kecil merasa dan berpikiran negatif : kebutuhan diprioritaskan pada anak yang sakit
® Reaksi yang muncul : marah, cemburu, benci dan rasa bersalah
Marah : jengkel pada orang tua yang dinilainya tidak memperhatikannya
Cemburu : orang tua lebih mementingkan saudaranya yang sakit
Benci : situasi yang dinilainya Sangay tidak menyenangkan
Rasa bersalah : anak berpikir mungkin saudaranya sakit akibat kesalahannya
® Takut dan cemas : ketidaktahuan tentang kondisi saudaranya
® Kesepian :situasi rumah dirasakanya tidak seperti biasanya penuh kehangatan, bercengkrama dengan orang tua dan saudaranya
® Anak yang lebih kecil merasa dan berpikiran negatif : kebutuhan diprioritaskan pada anak yang sakit
® Reaksi yang muncul : marah, cemburu, benci dan rasa bersalah
Marah : jengkel pada orang tua yang dinilainya tidak memperhatikannya
Cemburu : orang tua lebih mementingkan saudaranya yang sakit
Benci : situasi yang dinilainya Sangay tidak menyenangkan
Rasa bersalah : anak berpikir mungkin saudaranya sakit akibat kesalahannya
® Takut dan cemas : ketidaktahuan tentang kondisi saudaranya
® Kesepian :situasi rumah dirasakanya tidak seperti biasanya penuh kehangatan, bercengkrama dengan orang tua dan saudaranya
D.
Pencegahan dalam mengatasi dampak
hospitalisasi
Untuk mencegah supaya masalah hospitalisasi teratasi maka peran perawat
adalah tetap memberikan dukungan dan dorongan kepada klien secara efektif agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan tetap menjaga kepercayaan klien
agar klien tidak merasa takut terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh
perawat.
Fokus intervensi keperawatan adalah sebagai berikut :
1.
Meminimalkan stressor
2.
Memberikan dukungan psikologis pada anggota
keluarga klien
3.
Mempersiapkan klien sebelum masuk rumah sakit
·
Upaya meminimalkan stresor atau penyebab stress
dapat dilakukan dengan cara :
1.
Mencegah atau mengurangi dampak perpisahan
2.
Mencegah perasaan kehilangan kontrol
3.
Mengurangi / meminimalkan rasa takut terhadap
perlukaan tubuh dan rasa nyeri
·
Upaya mencegah / meminimalkan dampak perpisahan
- Melibatkan
orang tua berperan aktif dalam perawatan anak
- Modifikasi
ruang perawatan
- Mempertahankan
kontak dengan kegiatan sekolah
- Surat
menyurat, bertemu teman sekolah
·
Mencegah perasaan kehilangan kontrol:
1.
Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat
kooperatif.
2.
Bila anak diisolasi lakukan modifikasi
lingkungan
3.
Buat jadwal untuk prosedur terapi,latihan,bermain
4.
Memberi kesempatan anak mengambil keputusan dan
melibatkan orang tua dalam perencanaan kegiatan
·
Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh
dan rasa nyeri
1.
Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua
untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri
- Lakukan
permainan sebelum melakukan persiapan fisik anak
- Menghadirkan
orang tua bila memungkinkan
- Tunjukkan
sikap empati
- Pada
tindakan elektif bila memungkinkan menceritakan tindakan yang dilakukan
melalui cerita, gambar. Perlu dilakukan pengkajian tentang kemampuan
psikologis anak menerima informasi ini dengan terbuka
·
Memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak
1.
Membantu perkembangan anak dengan memberi
kesempatan orang tua untuk belajar.
2.
Memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar
tentang penyakit anak.
3.
Meningkatkan kemampuan kontrol diri.
4.
Memberi kesempatan untuk sosialisasi.
5.
Memberi support kepada anggota keluarga.
·
Mempersiapkan anak untuk mendapat perawatan di
rumah sakit
1.
Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia
anak.
2.
Mengorientasikan situasi rumah sakit.
3.
Pada hari pertama lakukan tindakan :
o Kenalkan perawat dan dokter
yang merawatnya
o Kenalkan pada pasien yang
lain.
o Berikan identitas pada anak.
o Jelaskan aturan rumah sakit.
o laksanakan pengkajian .
o Lakukan pemeriksaan fisik.
Selain itu, perawat juga berperan sebagai promotif yang memberikan
pandangan pada keluarga agar selalu setia mendampingi dan memberi perhatian
lebih kepada klien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit.Hal ini
menjadi salah satu pendukung karena kehadiran orang terdekat dapat mengurangi
rasa cemas maupun jenuh selama klien menjalani perawatan.
Hospitalisasi merupakan perawatan
yang dilakukan dirumah sakit dan dapat menimbulkan trauma dan stress pada klien
yang baru mengalami rawat inap dirumah sakit. Hospitalisasi dapat diartikan
juga sebagai suatu keadaan yang memaksa seseorang harus menjalani rawat inap di
rumah sakit untuk menjalani pengobatan maupun terapi yang dikarenakan klien
tersebut mengalami sakit. Pengalaman hospitalisasi dapat mengganggu psikologi
seseorang terlebih bila seseorang tersebut tidak dapat beradaptasi dengan
lingkungan barunya di rumah sakit. Pengalaman hospitalisasi yang dialami klien
selama rawat inap tersebut tidak hanya mengganggu psikologi klien, tetapi juga
akan sangat berpengaruh pada psikososial klien dalam berinteraksi terutama pada
pihak rumah sakit termasuk pada perawat.
Hospitalisasi diartikan adanya
beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab yang bersangkutan dirawat
disebuah institusi seperti rumah perawatan (Berton, 1958 dalam Stevens, 1992).
Dalam Supartini (2002),
hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana
atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi
dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.
Penelitian membuktikan bahwa hospitalisasi
anak dapt menjadi suatu pengalaman yang menimbulkan trauma, baik pada anak,
maupun orang tua. Sehingga menimbulkan reaksi tertentu yang akan sangat
berdampak pada kerja sama anak dan orang tua dalam perawatan anak selama di
rumah sakit (Halstroom dan Elander, 1997, Brewis, E, 1995, dan Brennan, A,
1994). Oleh karena itu betapa pentingnya perawat memahami konsep hospitalisasi
dan dampaknya pada anak dan orang tua sebagai dasar dalam pemberian asuhan
keperawatan (Supartini, 2002).
Tingkah laku pasien yang dirawat di
rumah sakit dapat dikenal menurut Berton (1958 dalam Stevens, 1992) dari :
-
Kelemahan untuk berinisiatif.
-
Kurang/ tak ada perhatian tentang hari depan.
-
Tak berminat (ada daya tarik).
-
Kurang perhatian cara berpakaian dan segala sesuatu yang bersifat pandangan
luas.
-
Ketergantungan dari orang-orang yang membantunya.
Manfaat Hospitalisasi
Menurut Supartini (2004), cara
memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak adalah sebagai berikut.
1.
Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan orang
tua mempelajari tumbuh-kembang anak dan reaksi anak terhadap stressor yang
dihadapi selama dalam perawatan di rumah sakit.
2.
Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua.Untuk itu, pearawat
dapat memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak,
terapi yang didapat, dan prosedur keperawatan yang dilakukan pada anak,
tentunya sesuai dengan kapasitas belajarnya.
3.
Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi
kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang
lain dan percaya diri. Tentunya hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang
lebih besar, bukan bayi. Berikan selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan
pujian atas kemampuan anak dan orang tua dan dorong terus untuk
meningkatkannya.
4.
Fasilitasi anak untuk menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien yang ada,
teman sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling kenal dan
berbagi pengalamannya. Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan
sesama orang tua harus difasilitasi oleh perawat karena selama di rumah sakit
orang tua dan anak mempunyai kelompok sosial yang baru.
Faktor-Faktor Penunjang Hospitalisasi
Faktor-faktor yang menunjang
hospitalisasi (Stevens, 1992) :
a. Kepribadian Manusia
Tidak setiap orang peka terhadap
hospitalisasi. Kita melihat ada sebagian orang yang sangat menderita dan sangat
tergantung pada pada apa yang diberikan lingkungannya. Namun ada juga yang
menangani sendiri dan tidak bisa menerima keadaan itu begitu saja. Semua
tergantung dari segi kepribadian manusia itu sendiri.
b. Kehilangan Kontak dengan Dunia Luar Rumah Perawatan
Pasien/ orang yang tinggal di rumah
perawatan akan kehilangan kontak yang sudah lama berjalan dengan terpaksa. Dia
sudah tidak berada lagi dalam lingkungan yang aman yang dijalaninya dalam
sebagian besar hidupnya.
Orang-orang yang sering
berkomunikasi dengannya kini hanya sekedar bertamu dalam suasana yang berbeda,
hanya sebagian kecil keluarga dekat yang menemaninya. Sebagian besar
kontak-kontak dengan orang senasib yang terbatas dalam ruang perawatan yang
sama dan dengan orang-orang yang membantunya. Dunia mereka boleh dikatakan
terbatas pada lingkungan kecil. Apalagi ia bergaul dengan orang-orang yang
sebenarnya bukan pilihannya.
c. Sikap Pemberi Pertolongan
Ada perbedaan tugas antara pasien
dan yang memberi pertolongan. Ini terlihat jelas dalam kegiatan mereka
sehari-hari. Pasien biasanya menunggu dan yang menolong yang menentukan apa
yang dilakukan dan kapan. Pasien menunggu apa yang terjadi dan perawat yang
tahu. Pasien tergantung pada yang menolong dan ia terpaksa mengikuti. Ia sering
merasa tidak berdaya sehingga merasa harga dirinya berkurang. Hal ini membuat
dirinya lebih merasa tergantung. Perawat melakukan pekerjaan yang rutin dan
berkembang sedikit saja, hal ini akan membuat mereka menanamkan jiwa
hospitalisasi pada pasien.
d. Suasana Bagian Perawatan
Suasana bagian sebagian besar
ditentukan oleh sikap personel/ perawat, baik oleh hubungan antar sesama
perawat, maupun oleh sikap mereka terhadap pasien dan tamu-tamu mereka. Cara
berpakaian orang-orang di bagian juga sangat penting. Cara manuasia
bergaul, dapat mempengaruhi sikap
pasien. Ketergantungan antara personal biasanya mudah dapat dipengaruhi. Pasien
yang dirawat inap mendapat kesan bahwa mereka bukan yang terpenting dalam
perawatan ini. Juga ternyata bahwa orang-orang yang hanya mendapatkan tugas
melaksanakan pekerjaan dan tanpa bisa memberi tanggapan atau saran maka
pasien-pasien atau tamu-tamu mereka akan diperlakukan sama seperti itu. Ini
memperbesar kemungkinan adanya hospitalisasi.
e. Obat-Obatan
Obat-obatan dapat memberi pengaruh
besar pada sikap. Beberapa obat-obatan dapat mengakibatkan adanya tanda-tanda
yang sama seperti hospitalisasi. Dengan sendirinya, kemungkinan hospitalisasi
besar. Jika dipakai obat-obatan yang dapat merangsang adanya sikap tadi.
Mempersiapkan Anak Untuk Mendapatkan Pelayanan Di Rumah Sakit
Rumah sakit tempat dirawat mungkin
merupakan tempat dan suasana baru bagi anak. Oleh karena itu, persiapan sebelum
dirawat itu sangat penting. Persiapan anak sebelum dirawat di rumah sakit
didasarkan pada asumsi bahwa ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui akan
menjadi ketakutan yang (Supartini, 2004).
Menurut Supartini (2004), pada tahap
sebelum masuk rumah sakit dapat dilakukan :
1. Siapkan
ruang rawat sesuai dengan tahapan usia dan jenis penyakit dengan peralatan yang
diperlukan.
2. Apabila
anak harus dirawat secara berencana, 1-2 hari sebelum dirawat diorientsikan
dengan situasi rumah sakit dengan bentuk miniatur bangunan rumah sakit.
Sedangkan pada hari pertama dirawat,
menurut Supartini (2004), tindakan yang harius dilakuan adalah :
1. Kenalkan
perawat dan dokter yang akan merawatnya.
2.
Orientasikan anak dan orang tua pada ruangan rawat yang ada beserta fasilitas
yang dapat digunakannya.
3. Kenalkan
dengan pasien anak lain yang akan menjadi teman sekamarnya.
4. Berikan
identitas pada anak. Misalnya pada papan nama anak.
5. Jelaskan
aturan rumah sakit yang berlaku da jadwal kegiatan yang harus diikuti.
6. Laksanakan
pengkajian riwayat keperawatan.
7. Lakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainya sesuai dengan yang diprogramkan.
Stressor Dalam Hospitalisasi
Saat dirawat
di rumah sakit atau tengah menjalani proses hospitalisasi, klien (dalam hal ini
adalah anak), tentu akan mengalami stress akibat dari segala macam bentuk
perubahan yang ia alami, seperti perubahan lingkungan, suasana, dan lain
sebagainya.
a.
Reaksi anak terhadap hospitalisasi
Stressor dan
reaksi hospitalisasi sesuai dengan
tumbuh kembang pada anak (Novianto dkk,2009):
1)
Masa Bayi
(0-1 tahun)
Dampak perpisahan, usia anak > 6bulan terjadi stanger anxiety (cemas)
- Menangis keras
- Pergerakan tubuh yang banyak
- Ekspresi wajah yang tidak menyenangkan
2)
Masa Todler (2-3 tahun)
Sumber utama adalah cemas akibat
perpisahan. Disini respon perilaku anak dengan tahapnya.
3)
Masa Prasekolah (3-6 tahun)
Sering kali dipersepsikan anak sekolah sebagai
hukuman, sehingga menimbulkanreaksi agresif.
- Menolak makan
- Sering
bertanya
- Menangis
perlahan
- Tidak
kooperatif terhadap petugas kesehatan
4) Masa
Sekolah (6-12 tahun)
Perawatan di rumah sakit memaksakan ;
- Meninggalkan
lingkungan yang dicintai
- Meninggalkan
keluarga
- Kehilangan
kelompok sosial, sehingga menimbulkan kecemasan
5) Masa
Remaja (12-18 tahun)
Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh kelompok
sebayanya. Reaksi yang muncul:
- Menolak
perawatan / tindakan yang dilakukan
- Tidak
kooperatif dengan petugas
-
Bertanya-tanya
- Menarik diri
- Menolak
kehadiran orang lain
Pendekatan yang digunakan dalam hospitalisasi
(Novianto dkk, 2009) :
1. Pendekatan
Empirik
Dalam
menanamkan kesadaran diri terhadap para personil yang terlibat dalam
hospitalisasi, metode pendekatan empirik menggunakan strategi, yaitu ;
1)
Melalui dunia pendidikan yang ditanamkan secara dini kepada peserta
didik.
2) Melalui
penyuluhan atau sosialisasi yang diharapkan kesadaran diri mereka
sendiridan peka terhadap lingkungan
sekitarnya.
2. Pendekatan Melalui Metode
Permainan
Metode
permainan merupakan cara alamiah bagi anak untuk mengungkapkankonflik dalam
dirinya yang tidak disadari. Kegiatan yang dilakukan sesuai keinginansendiri
untuk memperoleh kesenangan.
b. Reaksi
keluarga terhadap hospitalisasi
Berikut beberapa reaksi orang tua
saat anak mereka dirawat di rumah sakit (Supartini,2004) :
1. Perasaan
Cemas dan Takut
Perasaan
cemas ini mungkin dapat terjadi ketika orang tua melihat anaknya mendapat
prosedur menyakitkan seperti pengambilan darah, injeksi, dan prosedur invasiof
lainnya. Hal ini mungkin saja membuat orang tua merasa sedih atau bahkan
menangis karena tidak tega melihat anaknya. Oleh karea itu, pada kondisi ini
perawat atau petugas kesehatan harus lebih bijaksana bersikap pada anak dan
orang tuanya.
Penelitian
membuktikan bahwa rasa cemas paling tinggi dirasakan orang tua saat menunggu
nformasi tentang diagnosis penyakit anaknya (Supartini, 2000), sedangkan rasa
takut muncul pada orang tua terutama akibat takut kehilangan anak pada kondisi
sakit yang terminal (Brewis, 1995). Hal lain yang mungkin menyebabkan rasa
cemas adalah rasa trauma terhadap lingkungan rumah sakit, ataupun rasa cemas
karena pertama kali membawa anaknya untuk dirawat di rumah sakit sehingga
merasa asing dengan lingkungan baru.
Perilaku
yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan adanya perasaan cemas dan
takut ini adalah sering bertanya atau bertanya tentang hal yang sama secara
berulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang, dan bahkan
marah (Supartini, 2001).
2. Perasaan
Sedih
Perasaan sedih sering muncul ketika
anak pada saat anak berada pada kondisi termal dan orang tua mengetahui bahwa
anaknya hanya memiliki sedikit kemungkinan untuk dapat sembuh. Bahkan ketika
menghadapi anaknya yang menjelang ajal, orang tua merasa sedih dan berduka.
Namun di satu sisi, orang tua harus berada di samping anaknya sembari
memberikan bimbingan spiritual pada anaknya. Pada kondisi ini, orang tua
menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau didekati orang lain, bahkan bisa
tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan (Supartini, 2000).
3. Perasaan
Frustasi
Pada kondisi ini, orang tua merasa
frustasi dan putus asa ketika melihat anaknya yang telah dirawat cukup lama
namun belum mengalami perubahan kesehatan menjadi lebih baik. Oleh karena itu,
perlu adanya dukungan psikologis dari pihak-pihak luar (seperti keluarga
ataupun perawat atau petugas kesehatan).
4. Perasaan
Bersalah
Perasaan bersalah muncul karena
orang tua menganggap dirinya telah gagal dalam memberikan perawatan
kesehatan pada anaknya sehingga anaknya
harus mengalami suatu perubahan kesehatan yang harus ditangani oleh tenaga kesehatan
di rumah sakit.
Memberikan dukungan pada angota
keluarga lain (Supartini, 2004) :
1. Berikan
dukungan pada keluarga untuk mau tinggal dengan anak di rumah sakit.
2. Apabila
diperluakn, fasilitasi keluarga untuk berkonsultasi pada psikolog atau ahli
agama karena sangat dimungkinkan keluarga mengalami masalah psikososial dan
spiritual yang memerluakn bantuan ahli.
3. Beri
dukungan pada keluarga untuk meneria kondisi anaknya dengan nilai-nilai yang
diyakininya.
4. Fasilitasi
untuk menghadirkan saudara kandung anak apabila diperlukan keluarga dan
berdampak positif pada anak yang dirawat ataupun saudara kandungnya.
Dampak Hospitalisasi
Perawatan anak di rumah sakit tidak
hanya menjadi masalah pada anak, tetapi juga pada orang tua. Brewis (1995 dalam
Supartini, 2002) menemukan rasa takut pada orang tua selama perawatan anak di
rumah sakit terutama pada kondisi sakit anak yang terminal karena takut akan
kehilangan anak yang dicintainya dan adanya perasaan berduka. Stessor lain yang
sangat menyebabkan orang tua stres adalah mendapatkan informasi buruk tentang
diagnosis medik anaknya, perawatan yang tidak direncanakan dan pengalaman
perawatan di rumah sakit sebelumnya yang dirasakan menimbulkan trauma
(Supartini (2000) dalam Supartini, 2002)
Menurut Asmadi (2008), hospitalisasi
merupakan pengalaman yang mengancam bagi setiap orang. Penyakit yang diderita
akan menyebabkan perubahan perilaku normal sehingga klien perlu menjalani
perawatan (hospitalisasi). Secara umum, menurut Asmadi (2008), hospitalisasi menimbulkan
dampak pada beberapa aspek, yaitu:
1. Privasi
Privasi dapat diartikan sebagai
refleksi perasaan nyaman pada diri seseorang dan bersifat pribadi. Bisa
dikatakan, privasi adalah suatu hal yang sifatnya pribadi. Sewaktu dirawat di
rumah sakit, klien kehilangan sebagai privasinya. Kondisi ini disebabkan oleh
beberpa hal :
- Selama
dirawat di rumah sakit, klien berulang kali diperiksa oleh petugas kesehatan
(dalam hal ini perawat dan dokter). Bagian tubuh yang biasanya dijaga agar
tidak dilihat, tiba-tiba dilihat fdan disentuh oleh orang lain. Hal ini tentu
akan membuat klien merasa tidak nyaman.
- Klien
adalah orang yang berada dalam keadaan lemah dan bergantung pada orang lain.
Kondisi ini cendurung membuat klien
“pasrah” dan menerima apapun tindakan petugas kesehatan kepada dirinya
asal ia cepat sembuh. Menyikapi hal tersebut, perawat harus selalu
memperhatikan dan menjaga privasi klien ketika berinteraksi dengan mereka.
Beberapa hal yang dapat perawat lakukan guna menjaga privasi klien adalah
sebagai berikut.
a. Setiap
akan melakukan tindakan keperawatan, perawat harus selalu memberitahu dan
menjelaskan perihal tindakan tersebut kepada klien.
b. Memperhatikan
lingkungan sebelum melaksanakan tindakan keperawatan. Yakinkan bahwa lingkungan
tersebut menunjang privasi klien.
c. Menjaga
kerahasiaan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan klien. Sebagai contoh,
setelah memasang kateter, perawat tidak boleh menceritakan alat kelamin pasien
kepada orang lain, termasuk pada teman sejajwat.
d. Menunjukkan
sikap profesional selama berinteraksi dengan klien. Perawat tidak boleh
mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat klien malu atau marah. Sikap tubuh
pun tidak boleh layaknya majikan kepada pembantu.
e. Libatkan
klien dalam aktivitas keperawatan sesuai dengan batas kemampuannya jika tidak
ada kontraindikasi.
2. Gaya Hidup
Klien yang dirawat di rumah sakit
sering kali mengalami perubahan pola gaya hzidup. Hal ini disebabkan oleh
perubahan kondisi antara rumah sakit dengan rumah ztempat tinggal klien, juga
oleh perubahan kondisi keehatan klien. Aktivitas hidup yang klien jalani
sewaktu sehat tentu berbeda dengan aktivitas yang dialaminya selama di rumah
sakit. Perubahan gaya hidup akibat hospitalisasi inilah yang harus menjadi perhatian
setiap perawat. Asuhan keperawatan yang diberikan harus diupayakan sedemikian
rupa agar dapat menghilangkan atau setidaknya meminimalkan perubahan yang
terjadi.
3. Otonomi
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa individu yang sakit da dirawat di rumah sakit berada dalam
posisi ketergantungan. Artinya, ia akan pasrah terhadap tindakan apapun yang
dilakukan oleh petugas kesehatan demi mencapai keadaan sehat. Ini meniunjukkan
bahwa klien yang dirawat di rumah sakit akan mengalami perubahan otonomi. Untuk
mengatasi perubahan ini, perawat harus selalu memberitahu klien sebelum
melakukan intervensi apapun dan melibatkan klien dalam intervensi, baik secara
aktif maupun pasif.
4. Peran
Peran dapat diartikan sebagai
seperangkat perilaku yang diharapkan individu sesuai dengan status sosialnya
Jika ia seorang perawat, peran yang diharapkan adalah peran sebagi perawat
bukan sebagai dokter.Selain itu, peran yang dijalani seseorang adalah sesuai
dengan status kesehatannya. Peran yang dijalani sewaktu sehat tentu berbeda
dengan peran yang dijalani saat sakit.Tidak mengherankan jika klien yang
dirawat di rumah sakit mengalami perubahan peran. Perubahan yang terjadi tidak
hanya pada diri pasien, tetapi juga pada keluarga. Perubahan tersebut antara lain
:
a. Perubahan
peran. Jika salah seorang anggota keluarga sakit, akan terjadi perubahan pera
dalam keluarga. Sebagai contoh, jiak ayah sakit maka peran jepala keluarga akan
digantikan oleh ibu. Tentunya perubahan peran ini mengharuskan dilaksanakannya tugas
tertentu sesuai dengan peran tersebut.
b. Masalah
keuangan. Keuangan keluarga akan terpengaruh oleh hospitalisasi. Keuangan yang
sedianya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga akhirnya digunakan
untukj keperluan klien yang dirawat. Akibatnya, keuangan ini sangat riskan,
terutama pada keluarga yang miskin. Dengan semakin mahalnya biaya kesehatan,
beban keuangan keluarga semakin bertambah.
c.
Kesepian. Suasana rumah akan berubah jika ada seorang anggota keluarga ytang
dirawat. Keseharian keluarga yang biasanya dihiasi kegembiraan, keceriaan, dan
senda-gurau anggotaanya tiba-iba diliputi oleh kesedihan. Suasana keluarga pun
menjadi sepi karena perhatian keluarga terpusat pada penanganan anggota
keluarganya yang sedang dirawat.
d.
Perubahan kebiasan sosial. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat.
Karenanya, keluarga pun mempunyai kebiasaan dalam lingkungan sosialnya. Sewaktu
seha, keluarga mampu berperan serta dalam kegiata sosial. Akan tetapi, saat
salah seorang anggota keluarga sakit, keterlibatan keluarga dalam aktivitas
sosial di masyarakatpun mengalami perubahan.
Mengatasi Dampak Hospitalisasi
Menurut
Supartini (2004, hal. 196), cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak
hospitalisasi adalah sebagai berikut :
a.
Upaya meminimalkan stresor :
Upaya
meminimalkan stresor dapat dilakukan dengan cara mencegah atau mengurangi
dampak perpisahan, mencegah perasaan kehilangan kontrol dan mengurangi/
meminimalkan rasa takut terhadap pelukaan tubuh dan rasa nyeri
b.
Untuk mencegah/meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan dengan cara
:
1) Melibatkan
keluarga berperan aktif dalam merawat pasien dengan cara membolehkan mereka
tinggal bersama pasien selama 24 jam (rooming in).
2) Jika tidak
mungkin untuk rooming in, beri kesempatan keluarga untuk melihat pasien
setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antar mereka.
3) Modifikasi
ruangan perawatan dengan cara membuat situasi ruangan rawat perawatan seperti
di rumah dengan cara membuat dekorasi ruangan.
No comments:
Post a Comment